Subang dan Kenangan

Selamat pagi, Blogcha. Semangat Hari Rabu yaaa. Seperti biasa, pagi ini aku akan melanjutkan proyek menulis yang sebenarnya tulisan ini harusnya kutulis kemarin. Kali ini aku akan menuju sebuah kabupaten tempat aku tinggal selama aku duduk di bangku sekolah dasar.

Kabupaten Subang merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat, Indonesia dengan ibu kotanya adalah Subang. Kabupaten ini cukup luas, hanya saja pusat kotanya tidak begitu luas. Iklim kabupaten ini adalah tropis. Maka tidak heran jika di Subang banyak perkebunan. Perkebunan teh, nanas, sampai perkebunan karet. Meskipun termasuk iklim tropis, tapi kebanyakan wilayah di Subang berudara panas. Apalagi yang mendekati daerah laut Jawa, seperti Pamanukan, Pagaden, Binong, dll. Bahkan pusat kotanya sendiri memiliki udara panas. Datang ke Subang rasanya tidak lengkap jika tidak datang ke Ciater, tempat pemandian air panas yang lokasinya tidak jauh dengan gunung Tangkuban Parahu. Pemandangan kebun teh yang membentuk bukit-bukit indah dengan udara yang dingin tentu akan membuat pikiran menjadi lebih segar. Ditambah menghabiskan waktu untuk berendam dan memanjakan diri di Ciater yang akan membuat pikiran tidak hanya segar, tetapi juga tenang. Di Ciater tidak hanya ada tempat pemandian air panas, tetapi juga disediakan hotel bagi mereka yang ingin menghabiskan weekend di sana.


Aku pertama kali menginjakkan kaki di Subang saat aku selesai melanjutkan sekolah di TK. Dari Bandung, Bapak langsung dipindahtugaskan lagi ke Subang. Kami sekeluarga pun pindah ke Subang, di pusat kota. Aku bersekolah di SDN Mongonsidi, komplek Sukamenak yang sampai saat ini masih terletak di Jl. Otista. Kota ini menjadi saksi bisu bahwa aku tumbuh menjadi seorang anak yang periang.

Saat pertama datang ke kota ini sampai aku duduk di bangku kelas 2, aku tinggal di daerah Jl. Otista tepatnya Gg. Merak. Aku menghabiskan masa kecil yang bahagia di sana. Pulang-pergi sekolah bersama tetangga yang merupakan teman seangkatan denganku. Kami bertiga bersekolah di komplek yang sama, tetapi beda sekolah. Setiap sore bermain dengan anak-anak seumuranku, termasuk dengan kedua temanku tadi. Kami sekeluarga bertetangga baik dengan tetangga di sekitar sana. Tetapi menginjak kelas 3, ternyata kedua orang tuaku berniat pindah rumah ke daerah Panglejar. Dengan sedikit berat hati, aku pun menyetujui kepindahan kami semua.

Awal-awal tinggal di sana aku jarang keluar rumah. Mungkin karena di sana tidak banyak anak-anak yang seumuran denganku dan aku lebih memilih menghabiskan waktu pulang sekolah di rumah. Tapi setelah bisa menyesuaikan diri, aku pun mulai akrab dengan beberapa tetangga dekat. Meskipun setiap sore aku masih suka bermain sepeda dengan adikku, tapi intensitasnya tidak sesering dulu. Aku tinggal di sana sampai tamat kelas 6. Pada akhirnya Bapak kembali dipindahtugaskan ke Garut. Saat kepindahanku, banyak dari tetangga di sana yang ingin ikut. Katanya, mereka merasa kehilangan kami, terutama Mama. Mama memang selalu bisa menjaga hubungan baik dengan setiap tetangga. Bahkan saat beberapa tahun setelah kepindahan kami, dan kami kembali datang ke sana untuk sekadar berkunjung, mereka terlihat senang dan langsung menanyakan banyak hal pada kami.

Aku beruntung memiliki teman-teman yang baik di sekolah. Guru-guru pun tidak kalah baiknya. Dan di sekolah itulah berawal minatku tentang menulis. Berawal ketika aku duduk di bangku kelas 3, aku mulai suka menulis diary. Hanya sebuah cerita tentang anak kecil yang bahagia karena punya teman-teman baik. Cerita tentang anak kecil yang sedih karena tidak diizinkan main lama-lama atau cerita tentang anak kecil yang kesal karena Mama lebih membela adiknya dibanding dirinya sendiri. Ya, isi diary-ku dulu rata-rata berkisah tentang hal itu. Lalu guru kelasku mulai mendaftarkanku untuk mengikuti lomba calistung (membaca, menulis dan berhitung) sebagai salah satu dari 3 wakil dari sekolahku. Karena di komplek itu ada 6 sekolah dan sekolahku salah satunya. Alhamdulillah aku mendapati juara 2 saat itu.

Menginjak kelas 4 SD aku kembali diikutkan lomba itu oleh guruku. Tetapi saat itu aku hanya mampu menjadi juara 3. Meskipun begitu, hobiku menulis diary di rumah setiap malam semakin sering. Dan ceritanya pun semakin banyak. Apa pun yang kualami seharian penuh aku ceritakan di sana. Setelah aku naik kelas, aku mulai merasakan yang namanya suka dengan siswa sekelas. Cinta monyet, mungkin. Aku pun mulai menyelipkan cerita suka seseorang itu ke dalam diary-ku. Sampai saat ini, diary lamaku masih kusimpan baik di rumah. Sesekali aku membukanya untuk melemparkan ingatanku pada kejadian beberapa tahun lalu. Terkadang aku menyunggingkan senyum, tapi terkadang aku meneteskan air mata. Betapa bahagianya aku. Betapa beruntungnya aku dikirimkan orang-orang terbaik seperti mereka. Orang tua, teman-teman, dan guru-guru semua.

Seandainya bisa, aku ingin mengulang satu hari saja masa-masa kecilku dulu. Aku merindukannya.




Pict source: google

With love,

Dwi Sartikasari

You Might Also Like

0 komentar

Tell me what do you want to tell :)