Part 1 di sini
Terlambat
By Dwi Sartikasari
Hari-hari tidak berjalan seperti biasanya. Rion sudah punya pendamping baru dan ia mulai berubah. Tidak ada lagi waktu kebersamaan denganku. Bahkan, dia lupa untuk--hanya sekadar--mengucapkan terima kasih atas tantangan yang kuberikan saat itu. Tapi, sudahlah, aku baik-baik saja. Lagipula dia mengutarakan itu karena hatinya, bukan tantangannya.
Rasa resah dan gelisah
akhir-akhir ini lagi senang menggangguku. Minggu ini adalah puncak-puncaknya
kedua rasa itu terasa begitu kuat. Kenapa aku bilang gitu? Hmm..
Jadi ceritanya aku bikin calon
novel yang udah dikirim ke Bukune akhir Januari lalu. Novel itu udah aku bikin
dan edit-edit sejak selesai SMA. Udah lama ya hampir 2 tahun? Iya, ngeditnya
yang lama. Bikinnya juga deng. Kesalahanku adalah pertama, saat itu aku masih kurang
teori tentang menulis. Sangat kurang. Akhirnya aku bikin dengan modal ide
secara garis besar aja di kepala. Tanpa mencatat apa pun di catatan. Sok banget
ya. Tapi begitulah kenyataannya. Kedua, aku sama sekali belum mikirin detail
novelnya bakal kayak gimana. Sehingga aku masih kurang referensi. Akhirnya mulai
kelabakan setelah sadar bahwa ternyata aku butuh referensi banyak. Ketiga, aku
udah berasa paling pinter nguasai kata-kata. Aku nggak punya kamus indonesia
dan thesaurus. Iya, semua ini efek aku bikin novel modal nekat dan kepengen
aja.
Kisah ini dimulai sekitar April tahun lalu. Aku lagi menjalin hubungan sama, sebut aja Zxcvbnm. Tapi sayangnya hubungan kami udah di ujung tanduk. Iya, dia terlalu banyak selingkuh sampai bikin aku ngerasa bodoh. Udah berkali-kali memaafkan kesalahannya, yang sebenarnya nggak layak lagi buat dimaafkan. Iya mungkin kami udah nggak bisa lagi melanjutkan hubungan yang udah dibangun sekitar setahun lebih itu. Akhirnya aku memutuskan buat mengakhiri.
Cinta. Kata itu selalu nggak pernah habis untuk dibahas. Beragam makna muncul menurut pemikiran masing-masing orang. Aku di sini nggak akan bahas makna dari cinta itu sendiri. Aku tau kalau kata itu susah untuk diartikan. Cukup dirasakan aja udah bikin kita ngerti kayak gimana sih cinta itu.
Seperti yang udah kita tau, cinta
juga nggak melulu untuk pasangan. Iya, bisa juga untuk orang tua, keluarga,
adik, kakak, teman, sahabat, guru, dan siapapun. Terutama untuk Sang Pencipta
rasa itu sendiri. Yang terpenting, rasa cinta kita terhadap makhluk hidup
jangan sampai melebihi rasa cinta kita terhadap Sang Pencipta. Dia-lah yang
memberikan rasa yang luar biasa ini. Tanpa-Nya, kita nggak mungkin bisa
ngerasain yang namanya cinta.
Hallo, gimana hari Selasa-nya? Rasa apa? Kalo aku sih rasa hari ini kayak rasa hari Sabtu. Eh, Jumat deng. Udah nggak tahan kebelet pulang. Minggu ini siap long weekend! Yuhuuu~
Kali ini aku mau ceritain cerita seru di minggu kemarin. Kenapa aku bilang seru? Soalnya, setelah lama nggak nonton, nggak main, juga nggak jalan-jalan jauh, akhirnya kesampean juga di minggu kemarin. Emang minggu kemarin ngapain sih Wi? Heboh banget. Iya jadi minggu kemarin aku memuaskan diri untuk main. Soalnya beberapa bulan dipenuhi sama tugas dan deadline.
10 Mei 1964 lalu, seorang
laki-laki calon pemimpin sekaligus imam yang bijaksana, lahir. Beliau yang kini
jadi ayahku. Beliau adalah laki-laki pertama yang kukenal. Laki-laki terbaik,
tergagah, terhebat dan terbijaksana yang paling aku sayang. Laki-laki yang
selalu melindungi putri kecilnya. Aku tau, umurku kini sudah tidak bisa lagi
dibilang remaja, apalagi abg. Tapi buatnya, aku tetap menjadi putri kecilnya. Seorang
anak yang wajib untuk dilindungi.
Lagi buka-buka folder cerpen tiba-tiba nemu cerpen lama. Cerpen zaman dulu banget dan gagal masuk untuk dipilih jadi kontributor. Tapi nggak pa-pa, namanya belajar pasti ada tahapannya. Mungkin ini cerpen masih banyak kekurangannya. Pasti. Oke happy reading part 1, ya!
Terlambat
By Dwi Sartikasari
Pertemuan kedua terjadi di
keesokan harinya, tanggal 6 April. Kenapa? Soalnya aku diajak buat nemenin
Karei ke undangan salah satu temennya di kantor. Dia juga mau pergi bareng sama
temennya, sebut aja Kak A dan Kak B. Kak A itu cowok dan Kak B itu cewek.
Mereka mau janjian di Unpad jam 11-an. Jadi sekitar jam 10 Karei udah nongol di
kosan. Temennya, Kak A, dateng sekitar jam 11-an. Kami pun langsung nyusul ke
kampus dan berangkat. Awalnya sih, aku mau duduk di depan, tapi dipikir-pikir
nggak enak juga. Ya udah aku suruh Kak A duduk di depan. Eh taunya malah aku
yang dikacangin di belakang-_-
Mah, Pak, nggak kerasa ya sekarang Teteh udah sebesar ini. Sekarang
Teteh udah kuliah, udah tinggal sendiri, bahkan udah menginjak umur di akhir
angka belasan. Berarti, kalian udah mendidik Teteh selama 19 tahun. Bukan waktu
yang sebentar. Pasti udah banyak pengorbanan yang kalian berikan. Teteh pasti
nggak akan bisa balas semua pengorbanan kalian, sekalipun Teteh udah kerja dan
berpenghasilan nanti. Pengorbanan & cinta kalian tidak akan bisa terbalas
dengan sebanyak apa pun materi yang Teteh miliki kelak.
Hal-hal di dunia ini nggak akan bisa aku lakukan dengan mudahnya. Jadi sebelum aku bisa melakukan hal itu, pastinya aku harus belajar lebih dulu. Waktu kecil, aku harus belajar berjalan. Meskipun aku harus jatuh ratusan, ribuan kali mungkin, sampai akhirnya aku bisa berjalan lancar. Bahkan bisa sampai berlari. Meskipun aku tidak ingat, tapi aku yakin bahwa saat itu aku bahagia. Bagaimana tidak, dengan kesabaranku untuk terus mencoba, dan dukungan kedua orang tua, akhirnya aku bisa berjalan dan berlari.
Perasaan ini sudah bertahan cukup
lama. Layaknya air yang didiamkan di dalam freezer.
Semakin lama semakin mengeras. Aku tak tahu dari mana datangnya rasa yang orang
bilang, cinta. Tapi, aku tidak yakin mengapa aku harus menyebutnya cinta. Aku
hanya senang melihat wajahnya. Aku hanya malu saat bertatapan langsung
dengannya. Aku hanya ingin tersenyum melihat tweet-tweet polosnya. Aku hanya
suka mendengar suaranya yang kecil dan lembut. Mungkin saja aku kagum, kan?