Bercita-cita jadi seorang penulis?
Nggak. Dulu, cita-citaku itu pengin jadi seorang Arsitek. Rasanya seneng aja kan bisa bikinin denah rumah yang bagus untuk banyak orang. Bisa membantu orang-orang agar rumahnya terasa nyaman, tenang, dan enak untuk dihuni. Membuat sirkulasi udara yang baik, dekorasi yang indah, warna cat yang sesuai, ada taman di dalam rumah, dilengkapi wall waterfall, rumah minimalis tapi terkesan luas, atau apa pun itu yang berhubungan dengan arsitektur, aku suka. Tapi sayangnya, cita-cita mulia itu kurang begitu didukung sama orang tua. Alasannya sungguh klasik. "Kamu anak perempuan, calon ibu. Kalau jadi Arsitek dan ada proyek banyak, siapa yang ngurus di rumah?" akhirnya dengan sedih hati, aku terjun bebas ke Akuntansi.
Awalnya, aku sama sekali nggak berpikir buat jadi penulis. Dulu pun aku nggak begitu sering menulis, selain nulis diary (dari kelas 3 SD). Tapi ternyata, semua berubah sejak aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Waktu itu aku datang ke sebuah acara pameran buku yang didampingi guru Seni Budaya. Setelah sampai di sana, kami dikasih beberapa novel teenlit yang ternyata penulisnya berasal dari kota kami sendiri, Garut. Dan dua orang dari beberapa penulis itu adalah teman satu sekolahku. Satunya seangkatan sama aku dan yang satu senior setingkat di atasku. Kayaknya aku harus berterima kasih sama mereka karena dengan karya mereka, aku mulai bersemangat untuk mencoba menulis tidak hanya nulis diary. Aku ngerasa bahwa aku punya bakat di bidang menulis. Meskipun hingga saat ini tulisanku masih jauh dari yang namanya bagus.
Semenjak kelas 2 itu, aku mulai sering menulis. Terutama cerpen. Aku pun mulai aktif mencari lomba-lomba cerpen dan mengikutinya meskipun selalu gagal. Sampai akhirnya di sekitar akhir tahun, cerpenku bisa dilirik oleh beberapa orang dewan juri dalam sebuah perlombaan kecil di facebook. Rasanya bahagia, tidak mampu berkata-kata. Dan buku antologinya tiba di rumah tepat saat hari Ibu, 22 Desember 2011 lalu. Aku bisa melihat raut bahagia di wajah Mama saat itu. Matanya seperti berkaca-kaca, mungkin terharu. Dan dari situ aku sadar bahwa aku merasa nyaman ada di dunia menulis. Aku mampu untuk membuat karya lebih baik lagi. Aku mampu untuk membuat kedua orang tuaku tersenyum bangga karena aku bisa melahirkan karya-karya dari sebuah buku.