[Cerpen] When You're Gone - Part I

When You're Gone
By Dwi Sartikasari


Angin berembus sepoi-sepoi, mencoba menerbangkan rambut gue yang mulai memanjang. Di meja samping, secangkir kopi dan setoples camilan tergeletak bebas. Serta... sebuah benda yang nggak pengin gue lihat ada di sana.

Kamu potong dong rambutnya. Kayak cewek aja rambutnya panjang.”

“Iya aku belum sempet.”

“Dari kemarin lusa bilangnya belum sempet terus. Nanti kalau besok belum dipotong juga, aku yang cukur rambut kamu.”

Gue tersenyum menatapnya. “Iya, bawel.” Lalu kembali menatap layar laptop.

Gue tersadar dari lamunan. Tiba-tiba hati ini terasa tercabik-cabik. Perih. Dada ini seperti terhantam benda keras. Ada sesuatu yang tertahan di tenggorokan gue. Nggak bisa dikeluarkan, tapi ditelan pun tetap nggak bisa.

Boleh dibilang gue menyesal karena udah menyia-nyiakan orang sebaik dia. Gue tergolong cowok cuek yang kalau udah asyik sama dunia sendiri, gue jadi lupa sama hal lain.

Dru, kamu ke mana sih?

Setengah jam kemudian. Kamu ke manaaaaa?

Setengah jam berikutnya. Endru!

Maaf aku tadi ketiduran. Hehe. Gue membalas smsnya dengan polos lima belas menit kemudian.

Gue yakin dia bakal ngambek. Dan dugaan gue benar karena dia hanya membalas singkat sms tadi. Tapi, gue nggak ngerti kenapa dia itu orangnya baik banget. Sejam berikutnya, dia udah nggak ngambek lagi. Ngambeknya memang musiman.

Lagi-lagi gue melamun. Kenapa gadis itu susah banget buat dilupakan? Awalnya, gue berpikir dia sama seperti gadis-gadis yang lain. Childish, manja, bawel dan cengeng. Bisa gue lihat saat pertama kali ketemu dia.

Gue kenal dia dari teman kuliah dulu yang ternyata juga temannya Corona di SMA. Iya, namanya Corona. Love at the first sight. Itu yang gue alami saat itu. Dia cantik, tubuhnya kurus meskipun tidak begitu tinggi. Rambutnya sebahu bergelombang di bagian bawah. Hitam memukau. Poninya dibelah pinggir ke kanan. Kulitnya tidak putih, tidak juga sawo matang. Mungkin perpaduan dari keduanya. Yang paling gue suka dari wajahnya yaitu matanya yang sipit dan bibir tipisnya. Saat dia senyum, matanya jadi hanya terlihat segaris.

Saat itu dia baru keterima kerja di sebuah perusahaan swasta yang terletak di Ibu Kota. Kebetulan, kantornya nggak begitu jauh dengan kantor tempat gue kerja. Hanya berjarak sekitar tujuh kilometer sehingga masa pendekatan berjalan baik-baik saja.

Gue baru sadar, ternyata kejadian itu sudah berlangsung tiga tahun yang lalu. Betapa waktu sangat cepat berlalu. Gue mengembuskan napas panjang.

Dua tahun gue menghabiskan waktu bersama Corona. Iya, gue jadian sama dia nggak lama setelah perkenalan itu. Dia adalah gadis yang sangat baik, sabar dan perhatian. Meskipun apa yang gue pikir sebelumnya itu memang benar. Dia childish, bawel, cengeng dan sedikit manja. Setahun pacaran, gue nyaman-nyaman aja sama dia. Tapi setelah menginjak—tepatnya—bulan ke lima belas, gue mulai jenuh. Gue jenuh sama bawelnya dia, jenuh diceramahin terus, jenuh dia ngeluh terus, jenuh dia apa-apa nangis, dan jenuh dia curigaan terus. Intinya, gue jenuh. Kebaikan-kebaikan dia seakan rontok begitu aja di mata gue.

Sekarang, gue baru sadar kalau gue benar-benar merindukan gadis mungil itu. Gue kangen perhatian-perhatian kecilnya yang dulu sering diabaikan karena menurut gue itu berlebihan. Gue kangen dia yang sering ngeluh sekalipun itu masalah nggak penting. Apalagi saat hari pertamanya dia ‘dapet’. Meskipun biasanya dia lebih sensitif, tapi gue kangen. Gue juga kangen dia manja-manja di saat-saat tertentu. Dan, gue kangen saat dia marah-marah kalau gue nggak ada kabar. Gue juga kangen saat dia cemburu, terus dia cuma bisa nangis karena nggak tahu caranya buat marah dan ngeluapin emosinya. Yang paling bikin gue kangen yaitu saat dia bikin status-status tentang hubungan kami. Entah saat anniversary, saat kami selesai main bareng, atau saat apa pun. Dulu, gue berpikir dia terlalu berlebihan karena apa-apa di-update. Dan gue pun selalu mengabaikan status-statusnya. Tapi sekarang, semuanya berubah. Gue kangen.

Gue merebahkan diri di tempat tidur dan menaruh tas di meja samping tempat tidur. Dua puluh menit kemudian, ponsel gue berdering dan tertera nama Corona di sana.

Iya, kenapa Sayang?”

“Kamu udah pulang?” suara mungilnya terdengar di sebrang sana.

Iya ini udah.”

“Kok nggak ngabarin sih?”

Baru nyampe kok. Aku capek barusan langsung istirahat.” Gue sedikit berbohong.

“Ya tapi apa salahnya ngabarin. Nggak butuh waktu sejam kan? Sms aku juga pada nggak dibales.” Lagi-lagi, ia berceloteh panjang-lebar.

Iya maaf, ya. Aku capek, mau istirahat.”

“Ya udah. Jangan lupa makan, sholat, cuci muka dulu sebelum tidur. Selamat istirahat ya Sayang.”

“Iya, selamat istirahat juga.” Gue langsung memutuskan pembicaraan dan menaruh ponsel di dekat bantal. Tapi, bukannya menuruti ucapan Corona, gue malah langsung tertidur karena kelelahan dan bangun tengah malam.

Sekarang gue sadar banget sama semua sifat-sifat dia.

Dia cerewet, dia bawel, dia perhatian, itu buat menyeimbangi sifat cuek gue. Selama ini, setiap kami bertemu, dia yang lebih mendominasi obrolan. Tapi, dia selalu bisa menghargai giliran gue yang punya cerita. Dia bisa berubah menjadi pendengar yang baik dan menanggapi obrolan gue. Dia selalu punya cerita, yang nggak penting sekalipun. Kami nggak pernah kehabisan bahan obrolan. Karena dia, hubungan kami jadi nggak dingin. Karena dia, hubungan kami jadi berwarna. Dan perhatian dia yang berlebihan itu menandakan kalau dia khawatir. Gue baru tahu kalau kekhawatiran perempuan itu memang gitu. Kadang berlebihan.

Sifat childish-nya. Gue kadang kesel banget kalau dia jadi terlihat seperti anak kecil. Tapi gue nggak pernah sadar kalau di balik sifat childish itu, dia bisa dewasa. Buktinya, dia nggak pernah ganggu waktu kerja gue. Dia sabar menghadapi sifat cuek gue. Dia nggak pernah merengek minta ini-itu kayak gadis-gadis sosialita yang lainnya. Dia begitu sederhana. Sayangnya, gue menyadari itu saat dia udah nggak di sini lagi.

Sifat cengeng dan manjanya. Gue sadar, dia bersifat cengeng dan manja agar gue bisa memperhatikan dia. Agar gue bisa punya waktu untuk dia. Agar gue nggak cuek lagi sama dia. Gue harusnya sadar dari dulu kalau yang namanya perempuan itu makhluk lemah. Sekuat-kuatnya mereka, pasti butuh yang namanya penopang. Orang yang bisa menguatkan mereka. Dan gue ditakdirkan untuk menguatkan dia. Gue harusnya sadar kalau dia butuh dilindungi, dijaga dan diperhatikan. Dan yang namanya perempuan, mereka pasti mau dimanja. Meskipun mereka nggak minta secara langsung, tapi... ah, harusnya gue sadar dari dulu.

Matahari baru menampakkan setengah sosoknya di balik awan putih yang pagi itu sudah menggumpal. Corona datang ke rumah gue. Nggak biasanya dia datang sepagi ini.

“Ayo duduk dulu, Na.” Gue mempersilakan dia duduk di kursi rotan di teras rumah.

“Aku cepet-cepet, Dru.”

Gue mengernyitkan dahi menatapnya. “Loh, kenapa?”

Dia menghela napas sejenak. Tiba-tiba dia menarik lengan gue dan membuka telapak tangan. Dia menaruh sesuatu di sana. “Aku nggak bisa nerusin hubungan kita lagi.”

Gue melihat benda di telapak tangan gue. Kalung yang pernah gue kasih di anniversary kami yang kedua. “Kamu ngomong apa Na?”

“Aku minta maaf. Aku nggak bisa untuk lebih sabar lagi dari ini. Aku bukan malaikat yang punya kesabaran tanpa batas. Aku cuma manusia biasa yang punya titik akhir.”

Gue terdiam.

“Kamu berhak buat dapet yang lebih dewasa dari aku. Dapet yang nggak cengeng dan manja. Dapet yang nggak cerewet juga. Aku capek, Ndru.”

“Kamu ngomong gini karena kamu jatuh cinta sama orang lain jangan-jangan?”

“Tepatnya, aku udah ngerasa kita nggak cocok lagi. Aku butuh orang yang nggak cuek. Yang bisa menghargai aku. Yang bisa sadar akan keberadaanku. Yang bisa sabar menghadapi semua sifat-sifat burukku. Yang bisa menguatkanku di saat aku lemah, bukannya memarahi dan bilang kalau aku tukang ngeluh. Maaf, Dru.”

Raut wajahnya datarTak ada air mata yang menggenang di bola matanya. Tapi gue merasakan beribu makna yang tersirat di sana. Sorotnya seakan memberi tahu gue bahwa dia terluka begitu dalam. Ia segera membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan tergesa-gesa.

Gue masih terdiam di ambang pintu. Menatap punggungnya yang makin lama makin menjauh sampai akhirnya menghilang di balik pintu mobil. Hati ini seperti ada yang menyayat-nyayat. Tenggorokan gue tercekatGue ingin berteriak, tapi rasanya nggak sanggup. Gue mengalihkan pandangan ke telapak tangan yang masih memegang kalung yang dikembalikan Corona. Air mata gue tertahan di pelupuk mata. Gue cowok, gak layak buat nangis.

Dan untuk pertama kalinya, gue merasakan yang namanya sakit hati.

***

TO BE CONTINUED

With love,

You Might Also Like

34 komentar

  1. Kisah panjang, tapi tokoh Corona kok kena banget penggambarannya. Apakah gambaran Dwi sendiri? :)
    Memaparkan sudut pandang lelaki bukanlah perkara mudah, kita harus menyelaminya, bahasa dan gaya mereka. Intinya, butuh seseorang yang bisa kita amati. Observasi.
    Ehm, itu tentang mantan atau pengandaian agar hbunganmu dengan yang sekarang tidak berakhir demikian? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha bukan kok Mbak, cuma terinspirasi aja karakternya.

      Iya emang susah banget. Aku harus (seenggaknya) ngerti sedikit tentang pandangan cowok ke cewek. Ngerti tentang pemikiran cowok dan karakternya.

      Hmm, itu cuma cerita kok Mbak hehe. Ya semoga nggak berakhir kayak gitu juga, jangan sampe.

      Delete
    2. Ya, semoga saja kisah-kasihmu bisa lanjut ke jenjang walimahan. :)
      Saling menjaga, ya. :)

      Delete
  2. hmmm udah seserius apapun vina baca ini kak..
    vina cuma nemu satu celah ntah itu benar ntah itu salah

    keterima kerja apa diterima untuk bekerja. kata-kata yang tepatnya gitu kak :3 tapi mungkin vina salah :D hihih

    tapi kak, ini serius. vina jadi ikut alur ceritanya.. wanita memang begitu.. secerewet apapun mereka, tetap mereka butuh perhatian. tanpa mereka minta si pasangan mesti ngerti perhatian itu perlu.
    kalau dicuekin terus lama-lama ya tekanan batin juga kan..

    iya nih, vina kepo. apa itu gambaran tentang kak dwi? tapi yang diceritain bagian si cowoknya :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya itu enaknya diterima sih, ah aku terlalu ceroboh waktu itu. Padahal udah diminimalisir. Tp thank u ya Vin :)

      Iya capek juga ya kode-kode tapi nggak dipekain.

      Gambaranku? Hmm, gimana ya... Nggak kok haha. Cowok aku cuek tapi gak segitunya. Dia sekarang udah cukup peka :))

      Delete
  3. Kamu cewek, tapi tokoh utama disini cowok.
    Ini hebat banget. Dan yang kamu tulis ini ceritanya kena ya.
    Keren !!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank u Bang, ini juga aku masih banyak belajar kok. Nyoba keluar dari zona nyaman aja.

      Delete
  4. uhhh ngena banget tu mbak crita nya, puanjanggg banget tapi seru juga kalo di hayati dan di perhatiin tulisannnya tentang apa, awal nya sedkit bingung nih mbak, ini pun juga masih sedkit bingung. -_- *hehehehehe*

    Ehhh terakhir nya malah sakit hati sihh, uhh sabar aja lah. :v padahal si cewe nya udah perhatian banget itu kok, dan sayang banget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Bib, wah masa sih kamu bingung? Padahal aku udah coba buat pake bahasa ringan yang gak penuh kata-kata puitis.

      Iya makanya jangan nyia-nyiain orang, giliran udah pergi kan baru nyesel.

      Delete
  5. Ihhhhh ceritanya keren banget kakak dwi. beneran! kamu hebat banget bisa jadi karakter cowok. trus ceitanya juga masuk akal dan yang terpenting adalah, aku baca cerpennya sampe habis. dahsyat banget!!

    tega banget ngasih konfliknya pas si endru sudah sadar kalau si corona berarti banget buat dia. aku tunggu ya kelanjutannya. aku adalah fans dari cerita ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Kuh, beneran! Itu aku juga masih belajar kok jadi karakter yang belum pernah aku coba. Susah banget sebenernya.

      Haha fans? Jangaaann, cerpen singkat loh ceritanya. Nanti sedih pas cerpennya berakhir...

      Delete
  6. kerennnn ini harus di lanjtin kak, kk padahal cewek tapi bisa berperan sebagai cowok di cerpen ini kata yang di bilang kukuh di atas.

    cerita ini gambarin aku banget kak, aku yang jadi ceweknya kalo di kehidupan asli aku mah hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ini aku juga baru belajar kok, hehe.

      Oh ya? Wah semoga cowoknya nyesel tuh udah nyia-nyiain kamu. Ya biasanya orang yang udah disia-siain pasti dapet yg lebih baik. Semoga^^

      Delete
  7. Wow, kak Dwi bisa menjadi seorang lelaki dalam ceritanya,,, keren banget kak.. sumpah.. beneran,,

    jadi kepo lanjutan ceritanya ditunggu ya kakak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya makasih yaa, ini masih tahap percobaan kok. Masih belajar.

      Makasih juga udah baca part 2-nya^^

      Delete
  8. Ini cerpen yang waktu itu :D
    gue udah komen secara personal kan Wi :P
    padahal menurut gue ceritanya keren.. dan ternyata masih belum rejeki ya Wi.. keep cemungudh aja~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Bang, cuma aku edit-edit dikit sih.
      Haha iya makasih masukannya ya Bang. Mungkin emang belum rezeki.

      Muucih eaaa *ketauan penulis alay*

      Delete
  9. Aku sengaja deh nge BW blog kamu terakhiran. Masalahnya bru baca pertama aja udh kyk serius gitu tulisannya wkwk..

    Penggambaran kamu terhadap Corona ngena banget Wi, sampe aku terasa di posisi dia dimana dia sia-siain orang yg berharga buat dia.

    Tulisan kamu keren wi, kamu bisa masuk dalam karakter cowok. Ajarin doong :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha sial. Nggak seserius itu kali ah Ri.
      Itu kamu pengalaman bukan, disia-siain cewek di masa lalu? *eh

      Thank you Ri, iya boleh. Yang penting niat nulis dulu seriusin =)

      Delete
    2. nah lebih tepatnya aku ngerasa cerita ini kayak hidup aku Wi, kamu kayak dukun ya bisa tau gitu -_- wkwkwk

      ini lagi nyoba buat serius Wiiii :D

      Delete
    3. Hahaha malah curhat kan keceplosan.

      Iya selamat mencoba serius deh ya

      Delete
  10. wiih.. nulis jadi orang lain itu susah lho mnurutku.. apalagi karakter 'orang lain'nya alias korona [mungkin] kamu sendiri :o

    keren deh pokoknya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha bukan kok bukan. Tapi thank you ya, Rizal.

      Delete
  11. Yah,.. diputusin endrunya. Tapi salah endrunya juga sih terlalu cuek dan sibuk sama dunia sendiri. Udah diperhatiin, sampai dikasih kode2 tapi tetep aja gak ngaruh, malah bener2 langsung tidur. Yah.. namanya juga cewek apa yang dikatakannya kadang maknanya berlawanan dari apa yang dikatakannya.

    Tapi kesannya emang endru gak sayang, cuma bilang kecewa kecewa aja gak action, buktinya waktu diminta putus sama Corona dia cuma bisa melongo di ambang pintu, harusnya kalo bener2 sayang mesti ngemis2 minta maaf, buktikan kalo corona itu ada dan berguna bagi kehidupannya.

    Ya kalo baca tulisan kamu pasti enak, ngalir aja bacanya, bisa ngambil diksi2nya juga buat dipake nulis entar. Haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah setelah dapet pacar, Kak Bayu makin ngerti aja sama cewek kayaknya. Gimana sama Cuplis? Hahaha.

      Iya sengaja emang bikin gitu karakter di masa lalunya. Nggak tegasan.

      Makasih Kak, haha iya boleh boleh. Biar katanya makin banyak ya.

      Delete
  12. Woohooo... Bagus, Dwi. Crossgender adalah salah satu bentuk tulisan yang menyenangkan. Itu istilah aku sendiri sih, crossgender. Haha. Itu, kalau penulisnya cewek tapi memposisikan diri sebagai cowok di dalam ceritanya. Pasti ada beberapa segi yang beda. Kayak di cerita ini :)

    By the way cuek belum tentu tidak peduli... *ah, aku selalu suka ngomong ini*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya menyenangkan Kak! Seru meskipun sulit, haha.

      Emang, aku juga suka bilang gitu kok. Soalnya emang iya. Tapi di cerita ini pedulinya nggak begitu diliatin.

      Delete
    2. Hahaha. Tapi kasian juga si andru gondrong di cerita ini XD

      Delete
  13. gebrakan baru nih cc Dwi karena kamu mengambil point of view cowok!! Aku belum pernah, jadi pingin nyoba dehh, dan kalo cowok emang diksinya harus ga begitu dalem gitu ya...ibarat kopi, cerpen kamu pas bangettt!! bagusss!! I love it! hehehe

    soal messagenya sih emang gitu, menyesal selalu datang terlambat...saat kita merasa 'punya', banyak hal yang tidak kita pedulikan dan anggap remeh, begitu dia pergi baru deh sadar...

    memang ya, kehilangan menampar kita tentang besarnya makna 'mempunyai' dan besarnya harga dari 'orang' itu sendiri... :) really really nice story :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Kak Mey, baru nyoba dan cukup sulit. Tapi ternyata menyenangkan hihi cobain ajaaaa. Thank you yaaa

      Iya makanya jangan sampe nyia-nyian kalo nggak mau menyesal di belakang.

      Delete
  14. Nusuuuukk!! Hmm... Ini kayak pengalaman "temanku" dwi. Ya gitu juga.... Cuek banget, tapi pacarnya perhatian. Yaa mirip-miriplah. Gambarannya juga mirip. Haha.. Mereka masih berteman sih sampe sekarang. Cuma ya... Ahsudahlah. Hahaha :D

    Ditunggu kelanjutannya... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Teman? Yakin teman?
      Jangan-jangan ini ceritanya nyangkut kamu juga ya Bang? Hahaha.

      Udah kok, dibaca ya :D

      Delete
  15. Ckckck, itu dari ilustrasi fotonya kok kaya' foto kakakku ya? itu loh Mario Maurer. Hahaha

    Tapi kak, kok bisa bikin cerita keren gini sih? Nyesss banget tau....! :)
    Keren lah kak, pokoknya. Sampe speechless ini,,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Loh, tunggu. Jadi kamu dulu adik iparku dong? Yah sayang dia udah jadi mantan. Hahaha :))

      Iya latihan nulis aja terus. Lama-lama jadi cinta nulis galau-galauan. Thank U Zakia.

      Delete

Tell me what do you want to tell :)