[Cerpen] Semusim
Aku duduk di
bangku kayu. Udara musim panas pagi ini terasa sedikit sejuk. Hangat sinar
mentari pagi menyorotku, meresapi pori-pori kulit. Mataku melihat sesuatu
berwarna hijau terhampar luas yang di atasnya terhampar pula warna biru muda
cerah. Mungkin itu yang namanya langit. Mataku juga menangkap setitik warna
kuning di antara hamparan langit. Aku hanya mampu menangkap warnanya, bukan
bentuknya.
Telingaku
menangkap sebuah suara langkah kaki mendekat. Aku nyaris bangkit sebelum lengan
kekar itu menyentuh bahuku.
“Hei, kamu
mau ke mana?”
“Daniel?
Kenapa baru datang?”
Kurasakan
lelaki itu mengempaskan tubuhnya di sampingku. Dia menghela napas sebelum
menjawab pertanyaan. “Aku ada urusan tadi. Maaf ya,” lengannya langsung bersarang
di ubun-ubun kepalaku.
Senyumku
tersungging tulus. Aku dapat merasakan Daniel ikut menyunggingkan senyumnya
padaku.
Aku sudah
mengenalnya setahun lalu. Laki-laki yang mau menemaniku menikmati musim demi
musim di sini. Meskipun sejak awal aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa
merasakan tiap lekuk wajahnya. Aku merasakan matanya bulat. Dia bilang bolanya
berwarna abu-abu yang dinaungi alis melengkung. Aku juga merasakan hidungnya
bangir. Dagunya terasa runcing di telapak tanganku.
“Skyna, ayo
kita harus segera beranjak dari sini.” Daniel secara tiba-tiba menarik lenganku
dan mengajakku berlari.
Sontak, aku terkejut.
Tapi genggaman tangannya—yang terasa pas dalam jemariku—menenangkanku. Entah
bagaimana lelaki itu bisa membuatku nyaman berada bersamanya.
Bangku kayu
tadi adalah tempat pertama kali kami bertemu. Dia berkali-kali mendatangi dan
mengajakku mengobrol. Awalnya aku berusaha menghindar sekadar untuk
berjaga-jaga karena dia orang asing. Tapi dia selalu punya cara untuk tidak
membuatku takut.
Dia
menyanyikanku sebuah lagu, memetik senar-senar gitar dengan penuh pesona.
Terkadang, dia mengajakku untuk ikut bernyanyi. Dia juga selalu menceritakan
kisah-kisah masa kecilnya, 24 tahun lalu. Bahkan dia pernah mengajakku berlari
menantang angin. Lalu secara tiba-tiba, dia melepaskan genggamannya dan
membuatku panik. Jantungku langsung berdebar, langkahku menggeligis hebat,
pikiranku kalut.
“Daniel! Daniel!” teriakku histeris.
“Daniel! Jangan tinggalkan aku, Daniel!” aku masih berteriak
berusaha menahan air mata yang nyaris menetes dari pelupuk mata.
Menit demi menit berlalu, aku tak merasakan Daniel berada di
sekitarku. Mataku tak menangkap sesuatu yang berwarna sawo matang. Hanya
hamparan warna hijau dan abu-abu jalanan. Berkali-kali kuputar tubuh sambil
menjulurkan kedua tangan.
“Daniel, tolong...” kali ini suaraku melemah dan bergetar. Air
mataku tumpah-ruah. Langkahku terhenti dan aku menjatuhkan diri. Aku menangis
di tempat yang tidak kukenali sama sekali. Di jalanan yang lengang.
“Dapat!” aroma tubuh Daniel menyeruak ke rongga hidungku. Lelaki
itu kini memelukku erat-erat. Jemarinya membelai rambutku. Sepintas, kudengar
ia terkekeh ringan.
Aku berusaha memukulnya dengan gumpalan-gumpalan jemari. Tapi
nyatanya tenaga itu tak cukup kuat. Mungkin, hatiku yang memang tak cukup kuat
untuk marah padanya.
“Kamu dari mana?” tanyaku getir.
Lelaki itu terkekeh sebelum menjawab pertanyaanku. “Aku hanya
ingin melihatmu menangis karena kehilanganku.”
“Kamu memanfaatkan kekuranganku?”
“Sama sekali tidak, Sky. Aku hanya takut jika kau tidak
membutuhkanku.” Aku merasakan bibir Daniel mendarat di keningku. Beberapa detik
kemudian, kecupan dari bibir tipisnya itu beralih ke ubun-ubun.
Sesuatu menjalar cepat ke hatiku—seperti sengatan listrik.
Jantungku berdampung seketika, tanpa ada aba-aba dan persiapan sebelumnya. Ada
sesuatu yang terasa aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tapi aku
berusaha menyangkal. Ah, ini hanya perasaan bahagia.
“Siap?”
tanyanya ketika aku sudah duduk di besi depan sepedanya. Lamunanku tentang masa
lalu itu buyar.
Kudengar deru
napasnya sedikit tersengal-sengal. Mungkin dia sedang mempersiapkan track yang akan kami lalui. Aku memang tidak
tahu seperti apa track-nya. Tapi aku
percaya, kali ini dia tidak akan lagi meninggalkanku.
“Sudah!” aku
berseru riang. Jemariku langsung berpegangan erat pada besi di tengah setang
sepeda.
“Satu, dua,
tiga.” Tepat ketika hitungan ketiga, sepeda kami melaju sangat kencang.
Aku bisa
merasakan angin yang kami tantang, menerbangkan rambut lurus hitam sebahuku.
Wajahku benar-benar tersapu angin yang juga nyaris menerbangkan sepeda kami
karena bobot kami terlalu kecil. Untung saja Daniel pintar mengatur
keseimbangan.
“Wuhuuu!”
aku berteriak kencang sambil melambaikan lengan sebelah kanan. Aku tak peduli
jika di sana banyak orang yang melihat kami. Lagipula, sejak tadi aku tidak
mendengar suara kendaraan apa pun. Jalanan ini sepi. Aku hanya merasakan
terpaan angin, udara hangat, deru napas Daniel yang menggelitik tengkukku, dan
kebahagiaan.
Entah sudah berapa
jauh Daniel mengayuh sepedanya. Sepertinya cukup jauh karena kini, aku bisa
merasakan napasnya berderu lebih cepat dari sebelumnya. Tiba-tiba kecepatan
sepeda mulai melambat, lambat, lambat, akhirnya berhenti.
“Ada apa,
Daniel?”
“Tidak.”
Hening.
Aku
merasakan sorot matahari yang mulai menjalar naik. Udara yang menerpa kami mulai
terasa panas. Tapi aroma musim panas begitu khas di hidungku. Aku menyukainya.
Terutama wangi bunga-bunga yang bermekaran.
Tangan kekar
Daniel tiba-tiba melingkar di perutku. Wajahnya mendekat dan bersandar di bahu
sebelah kiri. Napasnya terasa hangat dan menimbulkan efek tidak wajar ke
jantungku. Degupnya tidak dapat dikontrol karena terlalu berlebihan. Mungkinkah
ini perasaan...?
“Aku
menyayangimu, Skyna,” bisiknya menggelitik telinga.
Aku tercekat.
Jantung yang
sejak tadi berdegup terlalu cepat, kini rasanya seperti terhenti mendadak.
Beberapa detik saja hingga kalimat Daniel kembali menyadarkanku.
“Ntah
kenapa, aku senang menghabiskan waktu denganmu, Sky. Aku suka saat kita duduk
di bangku kayu di bawah pohon favorit kita. Aku suka saat kita saling
menggenggam tangan dan berlari kencang menantang angin. Aku suka saat bisa
menyanyi bersamamu. Lalu kau tersenyum. Aku suka melihat kau kelelahan dan
akhirnya aku terpaksa menggendongmu di punggungku.”
“Terpaksa?”
“Terpaksa
yang menyenangkan,” jawabnya terkekeh.
Suaranya
sungguh menenangkanku, membuat wajah ini memanas dan hati mencelus. Jantungku
kembali berdegup sangat cepat. Bahkan sepertinya lelaki itu bisa mendengarnya.
“Terima
kasih Daniel. Terima kasih kau sudah menerima kekuranganku. Aku pun
menyayangimu.” Kudekatkan kepalaku ke pipinya. Rasa haru, bahagia, tenang,
semua bercampur menjadi satu. Kujatuhkan tanganku menggenggam tangannya yang
masih bersarang di perut.
Ditemani
sorot mentari, udara musim panas serta aromanya, semua terasa sempurna.
***
Semusim t’lah kulalui
T’lah kulewati tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu
Masih tersimpan di hati...
Penghujung
musim gugur.
Masih
teringat jelas awal perkenalanku dengan Daniel setahun lebih yang lalu. Masih
kuingat jelas suara berat lelaki itu yang membuatku candu. Masih teringat jelas
perlakuannya yang menenangkanku. Semuanya masih membekas karena kusimpan rapi
dalam memori.
Aku duduk di
bangku biasa. Sore ini, semua warna banyak yang serupa di mataku, jingga.
Hamparan langit, dedaunan yang gugur dari dahan dan rantingnya, hingga matahari
yang mulai meluncur ke peristirahatannya. Aku tak bisa melihat jelas bagaimana
musim gugur terjadi. Ayah bilang, musim gugur adalah musim pergantian dari
musim panas ke musim dingin. Beliau juga bilang bahwa musim dingin akan segera
tiba dalam beberapa hari ke depan.
Mantel tebal
cokelat, sepatu boots tinggi, serta syal
rajut yang melingkar di leherku nyatanya tidak cukup kuat untuk menghangatkan.
Atau mungkin, hanya hatiku yang kedinginan? Kedinginan setelah penghangatnya
meninggalkan begitu saja.
Aku melewati
musim gugur ini sendirian. Setiap hari aku datang ke tempat ini, menunggu
lelaki yang dulu sering menemaniku. Lelaki yang tiap hari selalu punya cara
membuatku merasa nyaman dan aman berada di sampingnya. Dulu.
Semenjak
hawa udara panas berubah sedikit demi sedikit menjadi dingin, lelaki itu tidak
datang lagi. Padahal, kami melewati musim panas bersama-sama. Karena Daniel,
aku tidak peduli dengan kekuranganku ini. Dia bisa membantuku merasakan keadaan
lingkungan sekitar. Aku seperti mampu melihat dunia yang selama ini tidak
pernah kulihat.
Tapi,
warna-warna ceria itu kini berubah kelam. Sudah nyaris 3 bulan Daniel pergi dan
tidak lagi kembali hingga saat ini. Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Aku
merasakan dia ada di sini. Ah, tapi, mungkin itu hanya perasaanku saja yang
terlalu merindukannya.
Beberapa
detik kemudian, cairan kristal bening meluncur bebas dari sudut mataku. Cairan itu
langsung meluruh dalam jumlah banyak. Tapi sebenarnya, luka yang kurasakan jauh
lebih dalam dibanding banyaknya air mata yang meleleh. Aku tak mampu berteriak
karena tenggorokan ini rasanya tercekat. Dadaku sesak. Bahkan sakit itu
kini menular ke kepala, berdenyut-denyut. Dinginnya udara penghujung musim gugur
pun mendukung sakitnya luka yang kurasakan. Luka ditinggal pergi oleh orang
yang disayangi dengan tiba-tiba. Tanpa kabar, tanpa alasan.
Hingga matahari
nyaris tenggelam, air mataku masih mengalir. Dan Daniel, tidak pernah datang
lagi.
***
Angin menyentilku.
Tiupannya mampu
membuatku menyerah bertahan di dahan pohon. Kini tubuhku melayang-layang
terbawa angin. Aku pasrah membiarkan angin membawaku ke mana pun. Seiring jatuhnya
tubuhku, aku melihat sesosok gadis yang warna matanya menyerupai suasana musim
gugur. Cokelat.
Gadis itu
duduk di bangku kayu sendirian. Aku melihat tangannya membekap mulutnya
sendiri. Ia terlihat sesegukan. Aku sering melihatnya saat musim panas bersama
seorang laki-laki. Tapi kini, ke mana lelaki itu?
Angin terus
membawaku turun, bergeser agak ke sebelah kiri. Beberapa meter menjauhi gadis
bermata cokelat. Aku pikir, aku akan jatuh di dekat si gadis agar bisa
mendengar rintihan hatinya. Tapi, tunggu. Aku menangkap sosok lelaki yang tak
asing lagi. Itu lelaki yang dulu sering menemani gadis yang sendirian tadi. Tapi,
mengapa kini ia duduk dengan perempuan lain?
Ia duduk di
sebelah perempuan berambut panjang. Warnanya hitam legam dan terlihat mengilap
tersorot cahaya senja. Seiring tubuhku yang terus terambau tertiup angin,
lengan lelaki itu perlahan menyusup ke belakang punggung si perempuan. Lalu
akhirnya dijatuhkan di bahu kanan perempuan di sampingnya.
Tubuhku tergelincir
di hadapan mereka. Mereka saling menatap dan tersenyum. Tapi tidak ada makna
yang terpancar dari sorot mata laki-laki itu. Akhirnya aku sampai di tanah
dengan selamat. Bergabung bersama ribuan temanku yang lain, yang sudah gugur
mendahuluiku. Kusaksikan dua orang itu dengan saksama.
Aku sadar
ternyata lelaki itu memang tidak mencintai perempuan yang dirangkulnya. Aku sadar
kalau lelaki itu telah meninggalkan hatinya pada seorang gadis bermata cokelat,
yang duduk sendiri tak jauh dari mereka.
Kini aku
sadar, keadaan telah memaksa mereka untuk berpisah.
***
With love,
32 komentar
Idenya kewren... itu di ending yang dimaksud adalah butiran salju ya? Iya aja biar cepet. Aku seneng sama endingnya. Haha, penjelasannya datang dari sesuatu yang enggak diduga-diduga.
ReplyDeleteSemuanya oke, seperti biasa, ceritanya smooth banget, mengalir bak kapal layar yang tertiup angin di perairan yang tenang, gak kerasa udah ada di tepian. Cuma sarannya sih, di awal-awal, penggambaran penglihatan mata yang diterima si Skyna kurang jelas aja sih, kesannya dia masih tetap bisa membedakan warna hijau dan biru, rumput dan langit, bukannya kalo 'ehm' kita merem itu cuma bisa melihat warna-warna merah yang terpatri menembus kelopak? Atau memang skyna masih bisa menerima warna-warna itu meskipun enggak sempurna? ._.
Yakin nih salju? Coba baca lagi, itu musim gugur dan belum tiba di musim dingin loh haha. Tapi makasih ya.
DeleteIya emang maksudku gitu sih. Dia nggak sepenuhnya kekurangan. Jadi masih bisa ngelihat warna-warna meskipun cuma warnanya aja. Nggak sama bentuknya gitu. Lagipula dia itu sebenernya nggak menutup kelopak mata, Hud.
Tapi makasih sarannya ya. Nanti aku riset lagi.
Oh yayayaya, itu ternyata daun yang gugur yak ._. duh aku dongo haha
DeleteDan ya, sekarang aku bisa ngebayangin gimana penglihatan si Skyna, tadi awalnya aku kira dia itu merem ._. haha, tampaknya aku sudah salah berimajinasi, maafin yak :P
Cerpen ini tanpa cela.
Hahaha kenapa baru ngeh, Hud?
DeleteIya mungkin kamu lagi lelah. Imajinasinya lagi pengin istriahat dulu :D
kak, itu nama skyna dapet ide dari mana? bagus namanya, hehehe
ReplyDeleteceritanya juga bagus mengalir lembut.
aku gak bisa komen panjang, soalnya gak terlalu paham beginian -__-
Pas liat langit tiba-tiba aja kepikiran nama itu :))
DeleteNggak apa, makasih ya udah baca^^
Kak Dwiii.... kenapa cerpen2nya keren semua sih? Tapi kenapa mesti berbau perpisahan lagi? Yang kemarin pas aku BW juga gtu, akhirnya ditinggal juga, dan dia mulai memahami arti kesendirian dan kehilangan.
ReplyDeleteYang hepi ending dong kak... ='(
Eniwei, ini karya-karya kakak kenapa nggak dipublikasikan di koran atau...langsung bikin buku gitu. Kan lumayan bisa dapet duit. wehehehe
Haha nggak semua ah, tapi makasih ya. Aku suka bikin cerpen yang galau2 Zak. Wah direquest-in masa :3
DeleteYa doain aja ada rezeki aku di sana hehe
Iya didoain kokk...
DeleteAsalkan bagi2 royaltinya ya. hehehehe
Hahaha royalti mah nomor 2~
Deleteduuh mendadak jadi galau, kenapa harus ada perpisahan dibalik sebuah pertemuan yang berawal indah :(
ReplyDeleteeh yaa, btw aku suka bagian puisi" nya. baguuss :)
Namanya juga hidup Mbak Mas :")
DeleteItu bukan puisi loh, itu lirik lagunya Marcell yang Semusim hehe
bagus kak cerpennya hihihi
ReplyDeletekapan ya aku bisa nulis sebagus ini duhh.
cerpen nya terisnpirasi dari lagu ya, aku suka lagu semusim tuh hihihih
sepertinya daun yang gugur itu lebih mengerti tentang perasaan ya di banding daniel yang menipu perasaannya. Bahkan dari matanya saja, sepertinya daniel tidak mencintai gadis di sampingnya di bandin skyna.
Makasih Lis makasih :3
DeleteTenang aja, belajar lama kelamaan bisa lebih smooth lagi kok.
Iya aku juga tiba-tiba aja terinspirasi gara-gara denger lagu dia^^
Cerpennya bagus... ceritanya menarik.
ReplyDeleteAku sampai sekarang masih belum bisa lho buat cerpen hehehe
Wah Mbak Reni makasih loh ya hehe
DeleteAku juga ini masih belajar aja, belum bisa bagus banget bikinnya.
waahhhhh... mengalir indahhh~~
ReplyDeleteJadi ikut masuk ke dalam ceritanya Kak Dwi, jadi berasa Skyna
aaaakkk
tapi endingnya vina agak nggak ngerti :|
tapi ngerti, lah gimana cara bilangnya yaa.. :3
endingnya ini sedih kan ya kak.. vina bacanya gitu :|
atau vina salah menanggapi :3
Iya makasih Vina :)
DeleteNggak ngerti ya? Wah sayang banget. Padahal aku suka part endingnya loh
Nice cerpennya idenya keren.. terus dikembangin nie bakatnya siapa tau jadi penulis terkenal
ReplyDeleteCerpennya bagus. Semoga ke depan tetap semangat nulisnya ya^^
ReplyDeleteMaaf ga komentar banyak:)
Tumben Kaklin nggak komentar apa-apa, padahal aku nunggu komentarnya loh^^
DeleteBahasa & Tulisannya keren.. aku belum bisa sampe segini.. Btw, kumpulin aja semua cerpennya, jadiin buku. Well, ini KEREN! :3
ReplyDeleteMakasih ya. Kalo kumpulan cerpen nyari penerbitnya susah. Nyoba ke novel aja mungkin~
DeleteCeritanya keren, plot serta karakternya asik banget terkesan hidup banget :)
ReplyDeleteihhhh gilak. seperti biasa aku selalu baca cerpen di blog ini sampai habis. kali ini penggambarannya jelas banget! aku jadi ngerasakan gimana jadi orang tuna netra. hebat banget showingnya kak dwi.
ReplyDeletetapi kok di endingnya sudut pandangnya ganti sih, aku sempat bingung tadinya -____-. mungkin karena si karakter sky nggak bisa ngeliat apa yang sebenarnya terjadi kali yak. tapi secara keseluruhan cerpennya (lagi lagi) sukses melarutkanku ke dalam cerita.
Ihhhh gilak. Makasih banget ya Kuh, muji tapi ngatain. Aku jadi bingung hahaha.
DeleteIya bener, pengen nyampein apa yang dilakuin si cowok. Soalnya Skyna emang nggak tau kan. Makanya aku ambil sudut pandang lain.
bukan gitu kakak dwi, di bandung kata kata gitu nggak biasa ya -___-
Deletekalau di samarinda itu, ih gilak sama kayak "Ih wow".cuma kalau ngomong Wow di Samarinda kesannya kayak lebay -_- kayak gitu kira kira.
makin lama makin keren aja cerpen cerpennya. aku jadi rutin main main ke blog ini hahaha
Hahah iya paham Kuh, di sini juga biasa kok kalo wow kadang suka diganti sama gila.
DeleteWiiihhh makasih ya Kuh :D
wahh endingnya keren, ganti sudut pandang gitu.
ReplyDeleteaku seneng deh baca cerpen galaunya mbak dwi.
tapi bacanya, nunggu waktu luang. biar gak buru buru biar bisa menghayarti gitu :D
Iya aku ganti hehe.
DeleteWah makasih banyak ya Latifah udah meluangkan waktu buat baca cerpenku^^
kamu ini spesial cerpen cinta yah, -__-' sskali-skali aku tantang kamu buat bikin cerpen absurd tapi romantis. :))
ReplyDeletenama tokohnya unik Sky kayak anaknya koh Ernest ;))
ceritanyua bagus :)) keren.
sory baru bisa bw
Spesialis maksudnya Kak? Wah ditantangin nih. Aku juga pengin nyoba sih keluar comfort zone, tapi bingung mulainya dr mana. Absurd maksud kamu yang gimana?
DeleteOh iya? Aku nggak tau hehe. Makasih makasih :D
Tell me what do you want to tell :)