#CerpenLagu: Back to December


Source: http://totallytaylor-gifs.tumblr.com




Desember 2010

“Sayang.” Ergi tiba-tiba mendekapku dari samping. Ia menyisipkan rambut coklat sebahuku ke belakang telinga.

Aku menatapnya hambar. Entah ke mana perasaan itu. Perasaan yang menguatkanku bertahan selama setahun dengannya. Aku sendiri tidak tau sejak kapan rasa ini berubah. Yang jelas, belakangan ini, Ergi tak lagi bermakna di mataku.


“Kamu mau kado apa?” tanyaku sambil perlahan melepaskan dekapannya. Dekapan itu tak lagi hangat dan menenangkan. Semua terasa hambar.

“Aku gak perlu kado barang, Ntan. Cukup waktumu seharian penuh sama aku. Ya?”

“Iya, besok kita rayain ulang taun kamu seharian ya.” Aku berusaha melenyapkan perasaan bersalah itu bersama ribuan tetes air hujan yang turun di pertengahan Bulan Desember. Bulan yang selalu kuharapkan untuk segera datang, bulan yang penuh dengan kebahagiaan. Tapi…, tidak dengan tahun ini.

***

Jam belum genap menunjukkan pukul 7 pagi, tapi aku sudah siap untuk pergi. Aku sengaja tidak berpamitan pada orang rumah dan mematikan ponsel. Seharian ini, aku ingin berkeliling sendirian. Menenangkan hati dan menjauhkan diri dari Ergi. Mungkin dengan cara ini, aku bisa merindukannya lagi seperti dulu. Seperti saat-saat perasaan itu masih ada.

Tapi sayangnya… setelah seharian ini aku pergi, rasa itu belum muncul lagi.

“Kamu dari mana?” Ergi duduk di kursi anyaman di teras sambil memegang bunga. Cahaya remang-remang berasal dari lampu taman dan lampu gantung di teras, membuatku bisa melihat jelas ekspresi khawatir di wajahnya.

Aku berhenti melangkah dan menegang di halaman melihat Ergi. Ia mengenakan kaus merah dengan jaket jeans. Celana jeans dipadukan sneakers biru favoritnya. Tetap tampan, meskipun sorot mata itu kelelahan.

Dia bangkit dan berjalan mendekatiku. “Kamu lupa sama hari ini?”

Aku tak bisa menjawab, hanya menunduk lemas. Mencoba menahan berat cairan bening di sudut mata.

What’s wrong with us?” ia menarik daguku hingga kini kami bertatapan.

Malam ini dingin. Gelegar petir mulai terdengar. Angin bertiup tenang, tapi menusuk meresap ke pori-pori. Suasana seketika mencekam. Sama sekali tidak menyeramkan. Hanya saja…, menyakitkan.

Tanpa sempat menjawab pertanyaannya, aku gegas berlari memasuki rumah. Meninggalkannya di halaman yang masih memegang sebatang mawar putih kesukaanku. Air mataku tumpah-ruah. Dada berkecamuk, hati berdenyut-denyut, lutut lemas dan bibir bergegar. Aku menangis semalaman.

Setelah hari itu, Ergi sering datang ke rumah untuk menemuiku. Tapi aku berusaha menghindarinya. Semakin hari, perasaan itu malah semakin hilang. Aku semakin merasa bersalah karena tidak berterus-terang. Hingga entah di hari keberapa ia datang ke rumah, ia menitipkan sebatang mawar putih pada Mama tanpa pesan apa-apa. Tapi aku sama sekali tidak menerimanya. Kubiarkan mawar itu tergelintang di atas meja belajar. Melihat mawar itu nyatanya semakin membuatku merasa bersalah.

***

I’m so glad you made time to see me
How’s life? Tell me how’s your family
I haven’t seen them in a while
You’ve been good busier than ever
We small talk, work and the weather
Your guard is up and I know why

Because the last time you saw me
Is still burned in the back of  your mind
You gave me roses and I left them there to die

Aku segera mematikan lagu dan melepas earphone sebelum air mata meleleh di sini. Berkali-kali kulirik jam tangan, tetapi jarum menit itu melaju sangat lambat. Masih pukul lima kurang sepuluh menit. Kuedarkan pandangan ke sekeliling stasiun dan berhenti pada seorang pria dibalut kulit hitam manis, mengenakan kemeja polos marun dan celana kain tidak begitu longgar. Model rambut British dengan porsi tubuh kurus sedang berdiri bersandar pada tembok. Pandangannya menerawang.

Deg. Ada sesuatu yang berdebum kencang. Meluluhlantakkan hati yang selama ini kucoba rapikan. Aku menegang sejenak. Haruskah bertemu dia lagi saat ini?

Suara petugas dari speaker di sekitar peron sudah terdengar, tanda kereta yang akan kutumpangi akan datang lima menit lagi. Aku segera bangkit mendekati rel diikuti penumpang lain.

Deru mesin kereta mulai terdengar. Klakson angin menggema di sekitar peron, melenyapkan suara gaduh obrolan para penumpang. Kereta mulai melambat hingga akhirnya berhenti. Penumpang berdesak-desakkan saling dorong dari belakang. Aku menguatkan kaki agar tidak terdorong dan jatuh. Tapi nyatanya dorongan dari belakangku—sepertinya seseorang bertubuh gemuk—sangat kuat. Aku nyaris terjatuh.

“Awas awas!” seseorang memegang bahuku dengan kencang.

Aku gegas bangkit dan berjalan masuk tanpa sempat menoleh ke belakang karena penuh sesak. Dua buah kursi masih tersisa. Segera aku menempati salah satunya.

“Nggak ngucapin makasih?” Tanya seseorang ketika ia berhasil mengempaskan tubuhnya di kursi sebelahku.

Aku tercengang menatapnya. Ada ledakan yang cukup nyeri di dada. “Kamu yang nolong saya?”

Pria itu tersenyum santai. “Gak usah panggil saya. Kita kan saling kenal.”

Degup jantungku mengencang. Memori-memori lalu berkelebat cepat. Semua perasaan bersalah kembali menggerogoti hati. Kenapa harus bertemu lagi?

“Iya, makasih Gi.” Aku tersenyum canggung.

“Gimana kabar kamu? Pasti baik ya?” tanyanya sambil membenarkan kacamatanya—yang dulu hanya minus 1, entah sekarang.

Exactly. I’m very well. How about you? Keliatannya makin sibuk aja. Naik jabatan ya?” honestly, I’m truly bad, Gi. Aku nyesel. Lanjutku dalam hati.

“Kok tau? Iya alhamdulillah, baru aja bulan kemarin naik. Jadi, mau ditraktir nggak nih?” ia menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya.

Dulu selama masa pacaran, jika ada yang sukses diantara kami, pasti ada ritual traktiran. Tidak perlu yang mahal karena yang terpenting adalah arti kebersamaan. Dan kini, Ergi kembali menguak momen-momen lama itu. Momen yang membuatku menyesal sudah menyakitinya.

Aku menyisir poniku dengan jari—yang sudah melewati hidung—ke belakang. Karena licin, beberapa helainya kembali jatuh ke samping. Aku tidak menjawab.

***

Februari 2013

Aku membuka langkah lebar-lebar berusaha menghindari hujan. Februari nyatanya masih lekat dengan tetesan air dari langit yang turun sangat lebat. Tapi aku tiba-tiba menghentikan langkah tepat di depan coffee shop bergaya vintage. Dari jendela besar bertuliskan nama kafe tersebut, aku bisa melihat jelas lekuk wajah pria itu. Potongan rambut pendek model British, hidungnya yang bangir dan rahang yang tegas. Cara pria itu menerawang, cara pria itu mengambil cangkir, cara pria itu menyesap kopinya—yang bisa kutebak pasti isinya Caffe Latte. Ia duduk di sofa hitam-putih favorit kami dulu, di meja nomor 11.

Aku tau hujan turun semakin deras. Tapi entah kenapa kakiku sulit bergerak. Badanku kaku dan membeku di trotoar. Ingin rasanya masuk dan langsung memeluk tubuh Ergi. Merasakan kembali hangat dalam dekap lengan kekarnya yang dulu sempat hilang dan hambar. Ingin rasanya kembali memainkan rambut rapi itu dan menghirup wangi sampo yang tak pernah kutau apa mereknya. Ingin rasanya datang dan meminta maaf atas keegoisanku beberapa tahun lalu.

Tapi nyatanya hingga badanku basah kuyup, hingga Ergi pergi dari tempat itu—setelah hujan mulai reda, hingga mulai banyak orang kembali berlalu-lalang, aku masih tetap diam. Menikmati luka yang semakin melebar. Merasakan denyut-denyut perih di hati dan kepala. Membiarkan sisa-sisa rintik hujan membawa air mata yang mengalir dari kedua mataku.
“Maafin aku, Gi…” mataku sudah sembap.

***

So this is me swallowing my pride
Standing in front of you saying, “I’m sorry for that night.”
And I go back to December all the time
It turns out freedom ain’t nothing but missing you
Wishing I’d realized what I had when you were mine
I’d go back to December turn around and make it all right
I go back to December all the time.

“Kamu sekarang beda, ya.” Suara bariton itu membuyarkan lamunanku.

“Um?” mataku terbelalak. Kuulangi menyisir rambut ke belakang. “Beda apanya?”

Your style. Looks so mature. Udah berani dandan, berani pake heels tinggi, tambah putih, tambah cantik. Orang bank sih…”

Aku tergelak. “Jangan berlebihan, please.” Mau tidak mau, pujiannya sukses membuat pipiku memanas.

Pria itu tertawa. “Mama tanya kabar kamu, lho.”

“Ah, iya? Kabar Mama sendiri gimana?”

She’s very well. Kakakku yang kedua kan baru nikah dua minggu lalu.”

Aku mengangguk setelah mengingat muka Kak Nadira. “I’m happy for her. Semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah dan wa rahmah ya. Terus kamu kapan?”

Ergi tersenyum tak menjawab. Kalimatku menggantung mengakhiri pembicaraan untuk beberapa detik.

“Aku minta maaf, Ntan.”

For what?”

Pria itu mengangkat jemari kanannya dan terlingkar benda perak putih di jari manisnya. Rautnya menunjukkan rasa bahagia yang tertutup rasa bersalah. “Maaf aku gak ngabarin kamu.”

Waktu berhenti. Detak jantung berhenti. Riuh suara orang-orang dalam gerbong tak terdengar. Semua terjadi dalam gerak lambat dan telingaku berdenging seketika.

Please, don’t cry here.” Ujar Ergi menyadarkanku bahwa air mataku sudah meleleh menggantung di ujung dagu.

I’m sorry for everything I have done, Gi.” Pandanganku menerawang tanpa sanggup menatap Ergi.

Aku sibuk menenangkan irisan perih di sekitar hulu hati. Aku terlalu sibuk menyingkirkan pikiran bahwa Ergi sudah menjadi seorang suami. Pria yang kutinggalkan saat hari ulang tahunnya, yang sudah mengisi waktu setahunku tiga tahun lalu, yang sebenarnya, saat ini, ingin kuajak mengobrol lebih lama.

Pipiku kembali basah. Aku menggigit bibir kuat-kuat sambil meremas jemari Ergi. Beberapa pasang mata memperhatikan kami.

“Aku sempet nyariin kamu tahun lalu, sebelum aku ngelamar istriku. Karena aku masih berharap banyak sama kamu, Ntan.” Ergi menghela napas sejenak. “Tapi, nyatanya kamu bener-bener hilang sampai akhirnya aku nyerah.”

Aku mendekatkan diri pada Ergi. Tanganku terbentang dan langsung kupeluk pria itu. “Kamu jangan khawatir. Ini pelukan persahabatan kita. Pelukan maaf dari aku. Pelukan yang harusnya kamu dapet saat ulang tahun kamu.” Dalam dekapan Ergi, air mataku kembali menetes.

Aku pun merasakan bahuku basah. 

***



With love,
 

You Might Also Like

19 komentar

  1. ada masanya lelah datang saat sedang berjuang dengan harapan.
    ini keren mbak :))

    ReplyDelete
  2. Ketika yang spesial hanya tinggal seutas jalan cerita yang terlalu lebar dan pada akhirnya membuat Ergi harus memilih. Bahwa dengan memilih, Ergi tau, apa yang terbaik.

    Dalam cerita ini, kenapa Pangeran ngerasa begitu tinggi egonya ntan. Padahalkan, ketika bunga itu hadir, mungkin itu tanda. Tapi apa, justru ntan tak memperdulikan itu. Hinggaa.., perih yang pekat kembali berselimut di bahumu.

    Tjakep, deh. Cerpennya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi bukan terlalu egois mungkin. Karena dia sendiri bingung sama perasaannya...

      Makasih ya Om :D

      Delete
  3. Jadi cerpennya menggambarkan intan suka sama ergi, tapi ergi cuma menganggap sahabat ? Kejebak friendzone dong

    Eh tapi mereka udah pernah pacaran, aduh bingung nih..

    Pas baca-baca lagi ternyata intan menyesal karena meminggalkan ergi, tanpa alasan yang jelas dan sekarang si ergi mau menikah intannya menyesal. Penyesalan emang datang belakangan.

    Sukses ya lombanya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya jadi ceritanya Intan nyesel karena udah mutusin Ergi di masa lalu pas dia bosen. Gitu, Ki....

      Delete
  4. Anyway... Gue tersentuh. Pertama karena ceritanya bikin gue bingung gimana harus bersikap seandainya gue jadi ergi. Selalu ada bnyak pilihan. Dan ergi telah memilih. Intan juga telah memilih. Yg kesemuanya pastinya paham akan konsekuensinya. Jadi cerpen ini setidaknya menggambarkan perasaan gue saat ini terlepas dari alur ceritanya. Hiks hiks hiks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah jadi berasa pengalaman pribadi gitu ya? Hahaha._.

      Delete
  5. eh sumpah, wi. ini cerpennya keren abis. kampreeet....
    gue klo baca beginian jdi baper sndiri. ah elah, coba aja kisah cinta gue bisa gue bikin sprti yg gue harapkaan. ah seandainya ajaaa....

    gue ga bisa komen apa'', keren banget soalnya. baru kali ini gue tersentuh baca crita'' lo d blog. kan biasanya nulis tntng jlan'' lo sma ayang, lo, wi -,,,,-
    ga diceritain lagi ya, gmna si ergi pisah sma si ntan itu. kurang jelas, bikin penasaran, wi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha thank you. Saking kerennya pake kata kampret segala ya Zi :D tapi sayangnya kamu bukan Sang Pencipta......

      Ini nggak tau bales komentar apa. Antara pengen ketawa sama miris juga sama kamu. Ya udah tafsirin menurut pemikiran kamu deh :D

      Delete
  6. bagus Mba cerpennya gue kasih 4 jempol deh hehehe. klimaksnya dapet nih.

    pilihan Ergi memang sulit,harus memilih salah satu diantara kedua pilihan. dia sempet nyariin intan selama satu,tapi karena tak kunjung menemukannya dia akhirnya memilih orang lain. kalau dilihat dari alur ceritanya dan endingnya kayanya si intan masih sulit move on sama ergi ya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Miii.

      Iya jelas susah. Orang dia ngerasa bersalah gitu kan ya udah nyia-nyiain mantannya dulu~

      Delete
  7. Kampreeeeeettttt!!!!! Gue kok langsung exited gini bacanya. Bikin hati ngilu tau, nggak? Apa mungkin karena openingnya mirip sama kisah gue, ya? Duuh, kan baper jadinya. Hahahahahah.

    Tapi sumpah, ini emang keren. Setiap apa yang kita lakukan, pasti ada akibatnya. Bukan hanya akibat baik, tapi penyesalan kadang juga menyertainya. :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, lucu ya cowok-cowok baperan.... hahahahahaha

      Bener banget. Pesan moral dari cerpen ini. Thank you, Mahfud :D

      Delete
  8. Huaaaahuaaaa jadi galau jodoh :'( kenapa kisahnya jadi seperti ini? kenapa mereka seperti buih lautan yang tak pernah bisa menyatu. AKU SEDIIIIIIIIIIIH. harusnya mereka berjodoh tauuuu *maksa* :v

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya pembaca boleh protes sama ceritanya, tapi kayak takdir. Cerita yang ditulis nggak bisa diubah Wid haha

      Delete
  9. Kenapa yawh cewek di bank emang pada cantik2 kayak tokoh Intan? Selain pinter bikin laporan keuangan, mereka juga pinter make - up :D

    jangan lupa berkunjung di blog baru aku : www.cerpen-case.blogspot.com -makasih-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya karena di bank memperlihatkan penampilan juga~

      Udah mampir aku nggak sempet komen aja waktu itu hehe. Cerpennya bagus. Dan bersambungnya tepat. Bikin pembaca penasaran tentang cerita selanjutnya~

      Delete

Tell me what do you want to tell :)