[Cerpen] Someday, I Will
“Aku sayang sama kamu.” Itu kalimat yang gue denger dari Nadin, tepat
seminggu setelah gue nembak dia. Gue diem sambil tatap dia bingung. Dia balik tatap
gue sambil menyisipkan rambut panjangnya ke belakang telinga.
Gue mencondongkan tubuh,
mendekati wajahnya, bangkit dari duduk sedikit, lalu mendaratkan bibir di
keningnya. “Makasih udah sayang sama aku.”
Nadin nggak bisa jawab. Dia hanya menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Matanya menyipit.
Gue inget banget selama seminggu
setelah jadian, momen yang gue alami sama Nadin begitu manis. Gue lupa di hari
ke berapa kita jadian, dia tiba-tiba datang sambil bawain box makan.
“Dri, ini aku bawain makan. Kamu nggak sempet sarapan ya?” Nadin
tiba-tiba duduk di kursi samping gue.
Gue menoleh sambil menyunggingkan senyum. “Kamu tau aja sih. Makasih
ya.” Gue mengambil box makanan yang disodorkan Nadin.
“Aduh, kamu gimana sih kok rambutnya disisir rapi. Berdiriin aja…”
tanpa sempat gue cegah, jari-jemari Nadin sudah bersarang di kepala dan
mengacak-acak rambut gue. Nggak lama setelah itu, dia tersenyum puas karena
melihat rambut gue berubah model jadi spike. “Nah kan, keren.”
Gue mencubit pipinya dengan gemas.
“Hai Dri.” Nadin mengangkat
lengannya sambil berjalan melewati gue.
“Eh, Nad. Mau ke mana?”
“Masuk kelas nih. Duluan ya.”
Gue nggak lagi menjawab. Cukup
dengan mengacungkan jempol pada Nadin yang jaraknya semakin menjauh dari gue.
Ada sesuatu yang bergesekan
perih dalam hati. Gue sakit ngelihat punggung dia yang membelakangi gue dan
berjalan semakin jauh. Hati gue berdenyut-denyut. Punggung itu seakan
merapalkan ucapan perpisahan. Semakin lama, Nadin berjalan semakin jauh sampai
akhirnya gue hilang perhatian dari gadis itu. Ingatan gue kembali melayang pada
hari kesepuluh setelah kami jadian.
“Kamu kok belakangan ini beda? Jadi dingin dan seakan ngejauhin aku.”
Gue berujar sambil mengaduk minum dengan sedotan.
Nadin duduk di depan gue. Raut wajahnya resah seperti menyembunyikan
sesuatu. Sejak duduk di cafetaria ini 5 menit lalu, dia belum berhenti
mengetukkan jemari-jemari jenjangnya di meja.
“Ada apa, Nad?”
“I think… we have to break up.” Kalimat itu keluar dari mulut mungilnya.
Pandangannya langsung dialihkan dari gue. Matanya menjalar ke seluruh ruangan, lalu
akhirnya menunduk.
Gue terdiam. Membiarkan kalimat itu berdengung-dengung di telinga
dengan jelas. Kenapa? Kok bisa? Ada apa? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang
hanya bisa menggantung di ujung bibir tanpa berani gue ungkapin.
Kali ini mata kami bertemu. Ada awan mendung menggelayut di sana. Ada
kata yang gak terungkap. Ada rasa yang mengganjal. Ada…, sesuatu yang hilang.
“Ada yang salah sama aku?”
Mata Nadin mulai berkaca-kaca. “Ini bukan salah kamu, ini cuma salah
aku. Aku yang nggak bisa jaga perasaan aku untuk kamu.” Dia terdiam sejenak.
Sebelum sempat gue balas, dia kembali berkata, “Bukan. Ini bukan tentang orang
lain. Ini hanya tentang perasaan aku sama kamu yang nggak bisa bertahan lama.”
“You didn’t love me. Did you?” gue mencondongkan badan, menatap dia
sunggguh-sungguh. Gue pengin tau tentang maksud “sayang” yang pernah dia bilang
dulu.
Nadin masih mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan resah. Tatapannya
dialihkan ke beberapa kios yang berderet di pinggir ruangan. Lama banget gue
menunggu jawaban itu. Hingga setelah ada jeda lama, gue menemukan jawaban itu
dari gelengan kepala Nadin.
Hancur. Itu yang gue rasain pertama kali. Meskipun Nadin nggak
menjawab, tapi keyakinannya untuk menggelengkan kepala, udah jelas. Dia orang
yang gue sayangi lagi setelah setahun menjomlo. Gue udah suka dia sejak
beberapa bulan lalu. Lalu gue nekat ngungkapin perasaan gue, sampai gue harus
nunggu seminggu untuk dapet jawaban dari dia. Gue mengalami momen seminggu yang
sangat manis dan romantis—waktu itu gue ngerasa jadi cowok paling beruntung.
Dan ternyata, semua harus berakhir tragis di hari kesepuluh karena…, gue cuma
jadi pelarian. Ya, mungkin itulah yang Nadin cari setelah putus dari mantannya.
Mantan yang udah nemenin dia selama hampir 2 tahun.
Momen pahit itu selalu
membekas di hidup gue. Sampai setahun berjalan, tiap denger nama Nadin atau
bahkan ketemu dia langsung, hati gue selalu berdenyut-denyut perih. Bahkan
mungkin, berdebum-debum.
Sebulan setelah putus, gue
masih mencoba ngehubungi dia lewat chat.
Dia respon, tapi nggak sesuai ekspektasi gue. Dia jutek. Gue coba kepo media
sosialnya untuk tau tentang dia. Ternyata itu malah bikin gue tambah sakit.
Nadin lagi deket sama orang baru. Semudah itu?
Akhirnya gue mencoba berhenti
ngehubungi dia. Dan bener aja, dia sama sekali nggak nyariin gue. Kami
bener-bener lost contact sampai
sekarang untuk urusan chatting nggak
penting. Dua minggu setelahnya, gue tau kalau Nadin udah resmi jadian sama
cowok itu.
Hancur. Ini patah hati kedua
yang lebih nyakitin dari saat Nadin minta putus. Di saat gue masih terus kangen
dia, di saat gue masih keingetan kenangan seminggu romantis sama dia, dia
dengan mudahnya berpindah hati.
Gue sempat kehilangan semangat
belajar. Di semester akhir tingkat 2, IPK gue cukup menurun. Gue nggak semangat
belajar. Yang sering gue lakuin waktu itu cuma main PES tiap pulang kuliah.
Atau banyak nongkrong sama anak-anak lain, bahkan sempet juga gue bolos
seminggu kuliah demi ikut hiking
bareng temen-temen SMA. Gue cetak foto-foto Nadin dan beberapa foto bareng kami
waktu masih pacaran dulu. Dan begitu sampai puncak, gue robek foto dia dan gue
buang sejauh yang gue bisa. Desiran angin yang cukup besar membawa robekan foto
Nadin menjauh dari gue. Bahkan gue nggak tau di mana foto itu mendarat. Yang
jelas, gue pengin lupain semua hal tentang Nadin.
Belum berhasil. Setelah gue
pulang, gue kembali kuliah, gue lihat Nadin pulang bareng pacarnya. Cowok itu,
nggak salah lagi. Dia yang berhasil mengambil hati Nadin setelah putus dari
gue.
Hancur. Gue ngerasain patah
hati yang bertubi-tubi. Ternyata Nadin bisa menjalin hubungan cukup lama dengan
cowok itu sampai berbulan-bulan.
***
Gue menemukan Rofi lagi
menatap laptop dengan layar putih Microsoft Word, di kamarnya. Asap rokok
mengepul dari batang rokok yang tinggal setengahnya lagi—diselipkan di jari
telunjuk dan jari tengah Rofi.
“Rof? Ngapain?” gue menyusup
ke kamarnya dan duduk di tempat tidur tanpa ranjang.
“Mumet gue Dri. Mau bikin BAB
1 tapi mentok gak kepikiran apa-apa.”
Gue nggak fokus dengan jawaban
Rofi. Mata gue menatap batang rokok yang masih terselip di jemari Rofi.
“Ngerokok enak, Rof?”
Rofi membalikkan badannya
menatap gue. “Lo mau ngerokok?”
“Gue mumet, Rof.”
“Soal Nadin lagi?” Rofi
menyesap rokok itu dalam-dalam. Ia menengadahkan kepalanya dan mengembuskan
asap tipis itu ke langit-langit kamarnya. Lalu dia menekan rokoknya hingga
apinya mati dan dilemparkan ke tempat sampah di sudut ruangan. Tepat!
“Siapa yang selalu bikin gue
mumet selama ini kalau bukan dia?”
“Gue ngerokok sejak awal masuk
kuliah. Itu bukan karena gue salah gaul, Dri. Tapi karena gue patah hati.
Mantan gue waktu di SMA nggak bisa LDR akhirnya kita putus. Iya, sih, dulu gue
ngerasa tenang kalau habis ngerokok. Tapi sekarang gue nyesel. Kenapa cuma
gara-gara putus gue harus ngorbanin kesehatan dan diri gue?”
Gue sempet mau tanya tapi Rofi
melanjutkan kalimatnya lebih dulu.
“Kalau lo nanya kenapa gue
nggak berhenti, gue akan jawab, susah. Nikotin itu udah bener-bener ngeracunin
tubuh gue. Susah banget.”
Gue terdiam. Niat untuk
mencoba rokok gue urungkan. “Tapi, Rof, gue sayang banget sama Nadin.”
“Gue pun sama, Dri. Gue sayang
banget sama mantan gue. Kita pacaran nyaris tiga tahun. Dia orang yang dewasa
saat kebanyakan cewek-cewek di seumuran kita masih labil, selingkuh sana-sini.”
Rofi mengambil ponsel dan memainkan jemarinya di layar. “Nih.”
Gue mengambil ponselnya dan
membaca chat yang tertera di sana. Chat dari seorang cewek yang isinya dia
bahagia kalau dia baru dilamar. Si cewek akan menikah setelah tingkat dua ini
berakhir.
“I’m sorry to hear that.” Gue mengembalikan ponsel Rofi. Cowok itu
hanya mengangguk santai.
“Gue tau ini bakal kejadian.
Gue sering kepoin media sosialnya dan dia bener-bener bahagia sama pacarnya
itu. Kebahagiaan dia kesedihan gue.” Rofi menyunggingkan senyum terpaksa. “Tapi
pada akhirnya, yang bisa gue lakukan ya cuma membiarkan. Membiarkan dia memilih
jalan hidupnya. Membiarkan dia memilih pendampingnya dan bahagia dengan
pilihannya. Meskipun membiarkan belum tentu mengikhlaskan, sih.”
Gue merenung meresapi
kata-kata Rofi.
“Lo tau nggak cara move on terbaik itu apa?”
“Nggak. So, what?”
“Jatuh cinta lagi di saat dan
pada orang yang tepat.” Rofi mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan
api. “Tuhan itu adil, Dri. Kalau dia bisa bahagia sama pilihannya, suatu hari,
kita pun akan bahagia sama pilihan kita.”
Kali ini gue merasakan bibir
gue terangkat sedikit. Sebuah beban ikut melayang bersama asap rokok yang baru
saja diembuskan Rofi.
Maybe someday…, I will.
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Best
Article Blogger Energy"
With love,
20 komentar
Hai, idol aku. Apa kabar? :D
ReplyDeleteAku jadi pembaca aja sekarang mah. Hehe.
Ngelupain itu susah, susaaaaahhhh banget. Bakar foto, hapus nomor HP, delcont BBM dsb juga gak mempan kalau lagi sayang-sayangnya.
Tapi emang benar, selain melepaskan bisa apa lagi? Kadang ingin jatuh cinta lagi pun susah. Bener kata orang, cintai secukupnya. Biar sedihnya pas putus juga secukupnya aja. :D
Sukses BA nya ya, Wi. ;)
Kak RItaaaaaaa! Im fine but I miss you so damn much huhuh:( ke mana aja iihh?
DeleteIya begitulah Kak, butuh secukupnya aja.
Aamiin, makasih:)
Wow..
ReplyDeleteThis is one of the best post i have read.
Keren kakak.
Gue dapet bangat makna dan pesan tulisannya.
Semoga jadi best Artikel nantinya ya...
Thank youuuuu Jhon.
DeleteAlhamdulillah kalo ngerti. Aamiin semoga ajaa :D
Ceritanya bagus Mbak Dwi :) Semoga jadi best artikel :) Temen - temen cowok suka main PES yach??? Jangan lupa saling berkunjung.
ReplyDeleteNggak juga sih, itu sok tau aja. Thank you yaaa. Iya nanti aku berkunjung~
DeleteSomeday, I will :'
ReplyDeletekereeeen mbak cerpennya :' semoga menang giveawaynya ya mbak :D
Makasih Febri... Iya aamiin :D
DeleteHai cerpennya keren, suka :)) .
ReplyDeleteCoba dibuku kan aja, sayang kalau cuma ditaruh diblog :)
Sukses . .
Wah makasih vera :)
DeleteHihi, iya doain aja deh yaaa.
Cerita si tokoh utama ini hampir kayak ceritaku, tapi kalo aku sebulan :') *malah curhat
ReplyDeleteBener kata so Rofi, kalau ingin move on harus jatuh cinta lagi di saat waktu yang tepat dan dengan orang yang tepat.
Tapi masalahnya kapan waktu yang tepat ? Ngelupain doi aja belum bisa, dan percuma kalo pacaran, nanti malah cuma buat pelampiasan aja. Jadi waktu yang tepat itu setelah kalian benar-benar lupa dengan kenangan atau rasa sakit yang di kasih si mantan :')
Btw cerpenya asik nih mbak, agak nyesel juga sih pas tau ternyata ceritanya udah habis :D
Cie curhat~
DeleteNah itu, tiap orang punya jatah waktu sendiri-sendiri kapan tepatnya. Jadi cuma kamu yang tau kapan.
Wah makasiiihh kamu udah ketagihan :D
Toko akunya kuat banget wi. Keknya kalo penulis hebat kek gini, ni. Pinter ngebawa suasana yang nyaman buat dibaca.
ReplyDeleteSebuah pelarian yang panjang dan berakhir dengan jawaban sederhana.
Gagal move on, emang sering banget ngebuat orang melakukan pelarian, karena semua itu, demi sebuah kesenangan semata. Iya, mereka tak tau harus ke mana lagi. Hingga ada hati yang bisa membuat mereka istirahat untuk waktu yg tak lama.
Semoga bisa cepet terbit bukunya. :)
Ya aku pun masih belajar kok, Om. Makasih ya...
DeleteAamiin. Doain aku ya Om hihi
Terlepas dari alur ceritanya. Yg ngena banget buat gue pas udah putus trus rofi bnyak main pes dan lain sbagainya itu. Ternyata dulu gw juga gitu hahaha. Udahlah... Hal terbodoh yg gue lakuin hhe.
ReplyDeleteCie pengalaman ternyata, Hihi...
Deletealur ceritanya bagus mba,konfliknya juga kena banget tentang move onnya. kalau kata demian mah "Sempurna !" hehehe
ReplyDeleteiya move on yang enak adalah jatuh cinta lagi pada saat dan orang yang tepat. tapi sampai sekarang gue menunggu waktu dan orang itu,entah sampai kapan gue harus menunggu. biarlah tuhan yang mempertemukan kita. hehehe
Makasih Mi :D
DeleteHaha iya, kalo hatinya udah sembuh gpp kali cari lagi. Ya itung-itung buat lebih nyembuhin lagi gitu.
alurnya bagus.. gue jadi hanyut kebaca sampai akhir.
ReplyDeletebisa masuk mendalami tokohnya sejauh itu hebatlah :)
lanjutin nulisnya gue gak sabar nunggu postingan berikutnya
Wah makasih ya :D
DeleteIya boleh kok baca-baca postingan yang lain lagi... stoknya masih banyak.
Tell me what do you want to tell :)