[Cerpen] Terlambat - Part I

Lagi buka-buka folder cerpen tiba-tiba nemu cerpen lama. Cerpen zaman dulu banget dan gagal masuk untuk dipilih jadi kontributor. Tapi nggak pa-pa, namanya belajar pasti ada tahapannya. Mungkin ini cerpen masih banyak kekurangannya. Pasti. Oke happy reading part 1, ya!

Terlambat
 By Dwi Sartikasari


"Kesha!" Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku pun menoleh mencari sumber suara. Aku menemukan seorang cowok bertubuh jangkung dan sedikit kurus. Kulitnya sawo matang dengan kacamata bertengger di batang hidungnya. Cowok itu sudah tidak asing lagi di mataku. Dia adalah Rion, sahabatku sejak tiga tahun lalu.
Kami bersahabat sejak kelas 2 SMA. Awal pertemuan yang menyenangkan. Saat itu kami sedang sama-sama menunggu pengumuman lomba bermain musik. Pada akhirnya Rion mendapat juara pertama dengan gitar akustiknya sementara aku hanya mampu meraih juara tiga dengan piano yang disediakan di tempat.
"Kamu ke mana aja? Aku nyariin dari tadi juga."
"Sori. Gue tadi beli coklat dulu. Buat Farah kan." Rion nyengir kuda.
"Ya tapi nggak mesti mendadak hilang juga kan? Aku yang repot nanti."
Rion mengelus kepalaku. "Ya kan gue udah minta maaf. Ya udah yuk nanti kemaleman."
***
Aku sedang membantu Rion menjalankan misinya, pdkt dengan Farah. Semua berawal ketika Rion menjemputku pulang kuliah. Entahlah, matanya selalu sensitif pada cewek cantik. Kebetulan Farah satu jurusan denganku, Ilmu Komunikasi. Sepertinya Rion jatuh cinta pada pandangan pertama. Sejak saat itu, Rion pun gencar menyuruhku untuk mencari info tentang Farah—gadis dengan tinggi sedang dan badan yang tidak kurus tapi juga tidak bisa dibilang gemuk, parasnya keturunan arab didukung dengan warna kulit cerah.
"Gue bingung sama tuh cewek. Sejak sebulan lalu, sikapnya ke gue gitu-gitu aja. Dia suka sama gue gak sih?" Rion berjalan mondar-mandir di depan kursi yang sedang kududuki. Aku pun mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibaca.
"Ri. Kamu duduk coba dari tadi bolak-balik kayak setrikaan gak jelas." Rion pun duduk di sampingku. "Daripada kamu gabut, mending kita main Truth or Dare aja.
"Siapa takut. Oke gue dulu yang nanya lo. ToD?" tanya Rion sigap.
Aku terdiam sejenak, memikirkan risikonya jika aku memilih dare. Suasana di hall sedang ramai. Ternyata sedang jam-jamnya ganti mata kuliah. Tentu saja, aku tidak ingin dipermalukan di depan mereka. "Truth deh."
Kini giliran Rion yang terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan sebuah pertanyaan mematikan. "Nah. Sejak putus dari mantan lo tahun lalu, gue belum liat lo bawa cowok lagi. Lo lagi deket sama siapa sekarang?"
Aku terdiam sejenak, lalu tertawa sekencang-kencangnya. Rion mengerutkan kening. "Ri, aku lagi gak deket sama siapa-siapa. Lagian siapa juga yang mau sama cewek flat kayak aku. Mantan aku yang itu juga udah nggak tahan kali makanya minta putus," seketika suasana menjadi hening. "Udah giliran aku sekarang. ToD?"
"Dare." jawab Rion yakin.
"Okey. Gini. Kamu liat kan cewek cantik yang lagi duduk sama pacarnya?" aku menunjuk salah satu pasangan yang duduk terpisah beberapa kursi dari kami. Meskipun aku tidak tahu apakah mereka pacaran atau tidak.
"Terus?"
"Kamu dateng ke sana, terus ngaku-ngaku jadi mantannya. Berani nggak?"
"Gila! Nggak gue gak mau. Lo tuh selalu macem-macem deh kalau ngasih tantangan. Yang lain plis." Rion memohon dengan muka memelas.
Aku menggeleng yakin. "Lakuin atau aku ngambek?" aku mengancamnya. Aku tahu, Rion paling tidak bisa jika aku ngambek. Akhirnya Rion menurut dan berjalan menghampiri kedua orang yang kutunjuk tadi.
Aku melihat Rion mulai mengobrol dan menatap si cewek dengan yakin. Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka bertiga. Si cowok terlihat sedang mengutarakan sesuatu pada Rion dengan raut wajah yang sangat tidak bersahabat. Sementara Rion tetap pada pendiriannya, mengajak ngobrol si cewek dengan santai. Si cowok berdiri dan nyaris menarik kerah baju Rion, tapi Rion lebih cepat menghindar. Si cewek pun langsung menarik lengan si cowok untuk segera pergi.
Aku tertawa tanpa henti di tempat duduk. Rion memelototiku dan berjalan menghampiri. “Udah kan? Puas?”
Aku masih menghabiskan sisa-sisa tawaku. “Aduh itu sumpah muka mereka kocak abis Ri. Kamu harus liat ekspresi si cowok tadi.”
“Iya lo enak di sini ketawa-ketawa. Gue di sana gemeteran takut dihajar beneran!” Rion mendengus kesal.
Ya maaf maaf. Ya udah yuk ke kelas deh. Bentar lagi masuk kayaknya.” Aku mengambil tasku dan menarik tangan Rion untuk segera bergegas dari tempat itu.
***
Aku berjalan seorang diri menyusuri koridor gedung 3. Keluar koridor, udara siang yang sangat panas menyambutku. Aku terpaksa beristirahat sejenak, duduk di bangku semen di bawah pohon rindang.
“Kesha!” aku memutar kepalaku untuk mencari sumber suara.
“Eh Farah. Sini.” Aku mendapati Farah sedang berjalan dari kejauhan, tidak terlalu jauh dari tempatku beristirahat. Ia berjalan menghampiri dan duduk di sebelahku.
“Kamu kok nggak bareng Rion?”
“Iya tadi dia mau futsal sih bilangnya. Tau deh aku ditinggal sendirian. Eh by the way, kamu ada perasaan nggak sih sama dia?”
Farah terdiam. Suasana seketika hening, hanya terdengar suara angin dari gesekan dedaunan di atas pohon.
“Nggak tau, Sha. Awalnya sih biasa aja, tapi rasanya sekarang kok beda ya. Rion makin sering anter aku pulang kampus, dia sering anter aku kalau ke toko buku, dia juga sering telepon aku malem-malem, rasanya ada yang beda aja.”
“Ya kalau gitu berarti kamu suka sama dia, Far.” Ujarku meyakinkan perasaannya.
Farah menatapku aneh, lalu dia menyunggingkan senyum. “Mungkin.”
***
Rion sudah menungguku di ruang tamu dengan penampilannya yang sedikit rapi. Kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, dipadukan dengan jeans biru dongker dan converse warna senada dengan celana. Rambut pendeknya tertata rapi dengan kacamata yang masih menaungi kedua matanya. Biasanya, setelan sehari-hari dia tidak layak disebut sebagai setelan mahasiswa pintar.
“Mau kemana kamu rapi amat?” aku meledeknya.
“Eh bukannya lo yang nyuruh gue pakai baju ginian?”
Aku tersenyum sambil berjalan mendekatinya. “Iya aku yang nyuruh. Udah tenang aja, kamu cakep kok.”
“Awas kalau lo jailin gue.” Ujar Rion dengan nada mengancam. Aku terkekeh mendengar ancamannya. Setelah berpamitan dengan Mama, kami langsung meluncur ke sebuah cafe yang cukup romantis. Aku sengaja memilih tempat ini karena aku menyukainya. Suasananya yang tenang, damai dan hening membuat pikiranku seperti ter-refresh kembali.
“Lo ngajak gue ke tempat gini?” wajah Rion terlihat semakin bingung. Biasanya, kafe bukan tempat tongkrongan kami. Apalagi, aku membawanya ke kafe yang bertemakan romantis.
“Kamu protes aja deh. Udah yuk.” Aku menarik lengan Rion dan duduk di salah satu kursi yang terletak di pojok ruangan. Setelah memesan minum, kami saling terdiam.
“Main ToD yuk.”
Nggak.”
Please.” Aku mencoba memelas. Biasanya Rion paling tidak tahan dengan jurus wajah memelasku.
“Ya udah deh.” Akhirnya Rion mengalah. Tuh, kan! Akhirnya seperti biasa, dia yang mulai memberikan pilihan padaku. Dan tentu saja aku lebih memilih truth. “Lo sayang nggak sama gue?”
Ya sayang lah. Kamu kan sahabat aku Ri. Tiga tahun ini kita sama-sama terus. Masa iya aku nggak sayang sama kamu.” Aku menertawakan pertanyaan Rion.
“Maksud gue sayang lebih dari sahabat, Sha.” Kali ini wajah Rion berubah serius.
Ya nggak lah. Aku udah anggap kamu sahabat, nggak ada cinta-cintaan.” Aku kembali tertawa. Tapi rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada. Tenggorokanku tercekat.
“Tapi kalau gue yang cinta?”
Tawaku seketika terhenti mendengar ucapannya. “Rion?” tanyaku terkejut.
Ya nggak lah. Masa iya sahabat jadi cinta-cintaan. Nggak ada di kamus gue.” Jawabnya membuat dadaku terasa tertumus. Lalu dia tertawa dengan sangat bahagia setelah puas menjahiliku. Aku seperti mendapat tamparan hangat. Rasanya perih.
“Ya udah giliran kamu. ToD?”
Dare lah.”
“Sip. Kamu tembak gih cewek yang duduk di sana.” Aku menunjuk seorang cewek yang sedang duduk sendirian memunggungi kami.
“Gila! Lo tuh kan Sha, selalu aja macem-macem.”
“Terserah atau aku ngambek sebulan.” Ujarku sok mengancam.
“Tapi jangan nembak. Ngajak kenalan aja deh.” Rion mencoba menawarkan pilihan lain. Aku masih tetap diam yang akhirnya membuat Rion kembali mengalah dan berjalan mendekati cewek itu dengan langkah gontai.
“Hai.” Rion tiba-tiba duduk di hadapan si cewek. Otomatis ia menghadap ke arahku. Tapi wajahnya sangat terkejut ketika melihat cewek di hadapannya. Dia menatapku bingung, tapi aku mengisyaratkan agar dia tetap melakukan tantangan yang kuberikan. Aku tau itu Farah. Aku sudah menyuruhnya datang ke sini. Aku sudah merencanakan semuanya.
“Far, aku boleh ngomong sesuatu?”
“Ngomong aja.”
Aku bisa melihat wajah Rion berubah sedikit pucat. Mungkin karena panik. Aku tahu, dia akan mengungkapkan karena hatinya, bukan karena tantanganku.
Aku udah lama suka ngelihat kamu. Nggak tahu kenapa, rasanya baru ngeliat kamu aja udah tenang. Komunikasi sama kamu juga bikin aku nyaman, dan aku seneng. Tapi semua itu nggak ada artinya kalau kita gini-gini terus. Kamu mau kita ngejalanin hubungan lebih dari ini?”
Farah terkejut. Dia mendengus menggerakkan bahunya. “Jujur aku juga ngerasain hal yang sama, Ri,” Farah menghela napas sejenak. “Iya aku mau.”
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi bisa kulihat dari ekspresi bahagia yang tiba-tiba menyembur dari wajah Rion. Cowok itu menggutik lengan Farah dan mencium punggungnya. Maka kupastikan aku harus pergi dari tempat ini. Tugasku sudah selesai.
***


With love,

You Might Also Like

8 komentar

  1. oh nooooo...keren banget mbak ceritanya,,,sebenernya intinya sih biasa....cuman cerita untuk menuju ke puncak nya itu lo...keren,,,,,

    kalau bahas ngambek....jadi keingat saaammmaaa..ya udahlah...lupakan!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masa sih Bang? Ini biasa aja malah kataku kurang srek dibacanya hehe.

      Yah... Inget siapa ya...

      Delete
  2. suka penasaran kalo baca cerita bersambung gini, mau tunggu kelanjutannya aja deh.

    ReplyDelete
  3. dari bagian ini aja udah bagus :))
    buru buru baca yang part 2 deeh hehehe

    ReplyDelete
  4. mau dong cerpen terbarunya :D

    ReplyDelete

Tell me what do you want to tell :)