Antara Kau & Dia

By: Dwi Sartikasari


Mendung mulai menyelimuti Jakarta siang ini. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul satu lewat tiga menit. Tapi karena mendung, suasana terlihat lebih sore dari biasanya. Aku sedang dalam perjalanan pulang diantar pacarku. Namanya Kinan. Kami baru berpacaran selama tujuh bulan. Tapi selama itu pula Kinan belum pernah memperkenalkan aku pada keluarga ataupun teman-temannya. Dia juga selalu menolak jika aku mengajaknya ke rumah temanku. Padahal, umur kami bukanlah lagi umur pacaran untuk main-main. Aku dan Kinan sudah sama-sama bekerja di sebuah perusahaan luar negeri yang berlisensi.
“Kamu kok dari tadi diem aja?” Kinan melemparkan pandangan ke arahku. Namun aku tidak berniat membalas tatapannya. Aku kesal, tapi aku tidak bisa mengeluarkan emosiku. Semuanya terpendam dan larut dalam senyumku.
“Nggak pa-pa kok, aku lagi capek aja.” Ujarku tanpa menatap Kinan.
“Oh iya, temen kamu ada yang follow twitter aku. Kalau nggak salah namanya Andina.”
“Hmm..” aku hanya membalasnya dengan gumaman ringan. Peduli apa jika temanku mem-follow-nya? Toh dia juga tidak pernah mau aku kenalkan pada teman-temanku.
“Sayang, aku salah ya?”
“Salah kenapa?”
“Aku lagi bicara sama kamu. Kamu liat aku bisa nggak?” kali ini kudengar nada bicaranya lebih tegas seperti ada penekanan. Aku pun menoleh menatap Kinan.
“Apa?”
“Kamu kenapa, sih?”
Aku tidak bergeming. Pandanganku kembali lurus menatap jalanan dan mengabaikan Kinan. Aku tidak ingin air mataku menetes. Pikiranku langsung kalut membayangkan hal yang tidak pernah kuharapkan. Bagaimana jika Kinan tidak menyayangiku dengan tulus? Bagaimana jika Kinan selingkuh di belakangku? Bagaimana jika orang tuanya tidak setuju dengan hubungan kami? Bagaimana jika—
“Kamu kalau ada masalah coba bilang, jangan dipendam sendiri. Aku bukan cenayang yang bisa tebak pikiran kamu!” kali ini nada bicaranya berseru tajam. Aku terkejut, tapi berusaha untuk tetap tenang.
“Aku mau ke rumah Andina.” Ujarku dingin.
Kinan tiba-tiba mengesampingkan mobilnya. Dia berhenti tepat di bawah pohon rindang. Langit sudah semakin gelap dan rintik hujan mulai turun setetes demi setetes. Dia menatapku dalam-dalam dan aku berusaha menghindarinya.
“Kamu kenapa, Sayang?” kali ini nada bicaranya terdengar lebih lembut.
“Aku mau ke rumah Andina.”
“Kenapa tiba-tiba pengin ke sana? Coba cerita kamu punya masalah apa. Jangan kayak anak kecil.”
“Kamu yang kenapa?!” tiba-tiba aku membentaknya. Air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah-ruah. “Kita pacaran udah kebilang lama, Nan. Kita bukan pacaran anak SMP lagi yang  harus backstreet dari orang tua, dari temen-temen. Aku pengin kamu kenal temen-temen aku. Aku juga pengin kenal temen-temen kamu. Aku pengin tau sahabat kamu. Aku pengin kenal keluarga kamu. Kenapa sih kamu nggak pernah ngerti?!”
Kinan terdiam sejenak. Tiba-tiba luka masa lalu kembali terasa begitu perih. Hatinya kembali terasa sakit mengingat kenangan pahit itu.
“Kamu dengerin aku, ya. Aku punya alasan kenapa aku belum kenalin kamu sama mereka. Aku—”
“Kamu punya selingkuhan?” tanyaku getir. Entah kenapa tiba-tiba mulutku sudah tidak dapat kukontrol lagi. Aku terlalu emosi sepertinya.
“Nara!” dia melebarkan matanya menatapku tajam dengan nada bicara yang sangat tegas. Aku takut. Cara dia menatapku... aku takut. Air mata ini semakin mengalir dengan deras seperti hujan di luar yang sudah tidak lagi menetes.
Suasana hening beberapa saat. Kinan menarik lenganku berusaha menenangkan. Tapi aku terlalu takut. Aku menahan tanganku untuk tidak berada dalam genggamannya. Aku membuang pandangan karena tidak berani menatapnya.
“Maaf.” Dia berhenti sejenak. “Aku trauma, Sayang. Aku berharap kejadian dulu itu nggak pernah terjadi lagi.” Matanya masih menatapku kali ini sudah mulai melembut. Tapi aku masih tidak berani menatapnya. “Dulu, aku pernah niat serius sama seseorang. Aku udah kenalin dia sama temen-temen. Aku juga udah tau temen-temen dia, dan keluarganya. Aku berniat ngelamar dia beberapa bulan ke depan.” Kinan menghela napas sejenak. Dia lalu melanjutkan kalimatnya. “Tapi sebelum lamaran itu terjadi, ternyata dia selingkuh sama temenku sendiri. Saat itu rasanya aku udah nggak mau hidup lagi. Aku udah kehilangan orang yang paling aku sayang. Saat itu.”
Tanpa tersadar, air mata yang sudah mulai berhenti, kini menetes lagi. Aku tahu, Kinan pasti sangat menyayangi perempuan beruntung itu. Jika aku jadi Kinan, aku juga pasti akan merasakan hal yang sama. Trauma.
“Maaf, aku nggak maksud backstreet dari orang-orang kok.” Lanjutnya.
“Kamu nggak seneng kan pacaran sama aku? Iya aku tau aku ngeselin, aku childish, aku cengeng, cerewet—”
“Nara!”
“Terus kenapa kamu belum kenalin aku sama keluarga kamu? Kamu malu, aku nggak sebaik mantan kamu itu? Aku beda sama dia, Nan!”
Hujan di luar turun semakin deras. Beberapa kali terdengar bunyi petir yang mengejutkanku. Bahkan perdebatan di dalam mobil pun semakin sengit. Sudah dua bulan lalu aku menahan masalah ini sendirian. Aku berusaha memendamnya, sampai akhirnya semua itu tak mampu lagi kutahan. Dan hari ini, semuanya membludak keluar.
“Aku pasti kenalin ke orang tuaku kalau aku udah serius sama kamu. Aku nggak mau kejadian dulu keulang lagi, Nara. Tolong ngerti.”
Tiba-tiba aku merasa hatiku tersayat-sayat. Jadi, selama ini dia belum serius? Bahkan, setidaknya, berpikir untuk serius pun belum? Jadi dia belum yakin? Dan saat itu juga, aku merasa payah.
Aku membuka sabuk pengaman dan kunci mobil. Kubuka pintu mobil dan langsung bergegas turun meninggalkan Kinan yang masih bingung. Kudengar Kinan meneriaki namaku tapi tak kuhiraukan. Pikiranku langsung berkelibat tidak karuan. Aku menembus derasnya hujan di luar sana.
Harusnya, kalau memang dia berniat serius, dari awal pun dia sudah memperkenalkanku dengan keluarganya, bukan?
***
Seminggu setelah pertengkaran itu, aku jatuh sakit. Mungkin karena saat itu aku menembus derasnya hujan dengan kondisi perut kosong, belum kuisi nasi. Kini aku terbaring lemah di kamarku. Kinan berusaha menghubungiku berkali-kali, tapi tidak kuhiraukan. Jika memang dia serius, mengapa dia tidak datang ke rumah? Begitu pikirku. Dan sampai hari ini, tidak ada tanda-tanda Kinan akan mendatangiku. Pikiran negatif yang dulu sempat menghilang pun kini muncul kembali. Aku tidak bisa membayangkan jika memang selama ini dia tidak pernah serius. Tiba-tiba aku merasa takut jika aku hanya dijadikan pelarian atas mantannya yang lalu. Ada apa dengan hatiku?
“Sayang.” Mama membuka pintu kamarku dan menghampiriku sambil membawa nampan berisi sebuah mangkuk dan air putih. “Ayo dimakan dulu buburnya.” Mama duduk di samping tempat tidur dan menatapku lembut.
“Belum mau makan, Mah.” Ujarku manja.
“Eh, nggak boleh gitu. Nanti tambah parah sakitnya.”
Aku pun bangkit perlahan dari tidurku dan menyandarkan punggungku di kepala tempat tidur berbahan kayu. Mama menyendoki bubur dan menyodorkannya ke mulutku. Aku pun melahap bubur itu pelan-pelan.
“Mah,”
“Iya?”
“Salah nggak sih kalau aku minta dikenalin sama keluarganya Kinan?”
Mama menatapku tanpa berkata apa-apa. Sedetik kemudian, Mama menyunggingkan senyum. Mama selalu terlihat lebih manis saat tersenyum. “Nggak lah, apanya yang salah?”
“Selama tujuh bulan pacaran, aku belum pernah sekali pun ke rumah Kinan, Mah. Apalagi dikenalin sama orang tuanya.”
Lagi-lagi Mama tersenyum mendengar kalimatku yang mungkin, terdengar seperti rengekan anak kecil yang meminta dibelikan balon. “Nara, dia mungkin belum siap bawa kamu. Bukan karena kamu kurang baik, tapi karena tanggung jawabnya besar.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Mama, berusaha mencerna secepat mungkin. Tapi sia-sia saja, aku masih belum mengerti.
“Gini lho. Tanggung jawab seorang laki-laki itu lebih besar dari perempuan. Selain dia harus jaga dirinya sendiri, dia juga harus jaga perempuannya.”
“Tapi Mah, aku nggak minta untuk minta hubungan ke tahap lebih lanjut sekarang. Aku cuma mau dikenalin. Udah, itu aja. Aku juga mau kayak temen-temenku yang bisa jalan-jalan bareng sama keluarga pacarnya, atau apa kek gitu.”
Mama menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Jadi mau dikenalin karena ngiri?”
Aku terdiam sejenak. Di satu sisi aku mengiyakan, tapi di sisi lain tidak juga. “Aku cuma mau liat keseriusan dia aja, Mah. Apa jangan-jangan dia cuma jadiin aku pelarian karena masa lalunya? Aku kan nggak tau. Dengan sikap dia yang kayak gini bikin aku yakin kalau dia emang nggak seneng pacaran sama aku.” Aku meneteskan air mata. Mama langsung mendekatkan tubuhnya dan merangkulku. Ada rasa hangat dan tenang di sana. Dalam pelukan Mama.
“Aku serius sama kamu, Nara.” Aku mendengar suara Kinan di ambang pintu. Aku langsung melepaskan pelukan Mama dan melempar pandangan ke arah pintu. Aku menemukan Kinan dan sepertinya, kedua orang tuanya. Mereka terlihat sudah berumur sekitar lima puluh tahunan. Tapi wajah ibunya terlihat awet muda.
“Kenapa nggak pernah angkat teleponku?” Kinan berjalan masuk diikuti kedua orang paruh baya dan... ya ampun. Kenapa Andina ada di sana? Juga ada dua orang laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Kinan.
“Kamu? Mereka?” hanya dua kata itu yang keluar dari mulutku.
“Ini orang tuaku. Mah, Pah, ini Nara yang sering aku ceritain di rumah.” Kinan saling memperkenalkan aku dengan orang tuanya.
“Ini Nara? Ternyata apa yang dibilang Kinan benar ya, kamu cantik.” Mama Kinan menghampiriku. Aku pun mencium tangannya dan menyunggingkan senyum. Aku merasa pipiku memerah.
“Oh iya, ini aku bawa Andina dan temen-temenku, Arsyad dan Niko. Mereka berdua sahabatku sekaligus temen-temenkku. Andina, dia sahabat kamu, kan?”
Aku mengangguk mengiyakan, lalu menyalami mereka semua. Kecuali Andina, aku langsung memeluknya.
Kinan mendekati Mama dan mencium tangannya. Dia lalu ikut duduk di samping tempat tidur. “Aku minta maaf. Harusnya aku nggak lagi mengaitkan masa lalu sama masa sekarang. Dan aku nggak seharusnya juga trauma sama masa lalu. Kamu jelas beda sama dia. Kisah kalian beda.”
Aku terdiam mendengarkan kalimat Kinan.
“Nara.” Kinan memanggil namaku.
“Hm?” aku menatapnya. Kenapa jantung ini berdegup cepat sekali?
“Aku mau hubungan kita lebih serius lagi. Waktu tujuh bulan rasanya udah cukup buat mengenal kamu dengan segala kekurangan dan kelebihanmu.”  Kinan menarik lenganku dan menggenggamnya hangat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sementara di tempat ini tidak hanya kami berdua, tapi juga banyak orang.
“Nan?”
“Aku harap kamu ngerasain hal yang sama, Nara. Mama sama Papa setuju banget sama hubungan kita.”
Aku melemparkan pandangan ke arah Mama. Mama hanya tersenyum, membebaskan pilihan sepenuhnya padaku. Aku lalu melemparkan pandangan ke Mama dan Papa Kinan. Mereka mengangguk ramah. Kulemparkan lagi pandangan ke Andina, Arsyad dan Niko. Mereka memberikan respon yang sama. Sampai akhirnya pandanganku berakhir di Kinan.
“Gimana?”
“Sebenarnya aku nggak berharap kamu lebih serius, sekarang. Tapi ternyata kamu ngelakuin hal yang di luar dugaanku.” Aku mencoba berbasa-basi, membuat Kinan sepertinya harap-harap cemas. Biarlah kali ini aku ingin menjailinya dulu. Aku menghela napas panjang. Kurasakan tangannya dingin.
“Kamu nggak suka?” tanyanya.
“Bukan nggak suka, tapi nggak bisa.” Jawabku mantap. Semua orang di ruangan itu menatapku heran, terkejut, juga bingung. “Nggak bisa nolak, maksudnya.” Aku tersenyum menyeringai.
Kinan langsung melepaskan genggaman tangannya dan menarikku dalam pelukannya. “Makasih ya Ra. Makasih banget. Aku sadar, setiap orang punya kisahnya masing-masing. Beda orang tentu akan beda kenangan.”
“Iya, aku juga ngerti itu, kok.”

Dan apa yang Kinan katakan bahwa “Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Beda orang tentu akan beda kenangan” itu sangat kusetujui.

--END--

You Might Also Like

3 komentar

  1. "aku ngga bisa, ngga bisa nolak" hahaha dasar ya perempuan. nice story kan, happy ending sih :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. kan awalnya dia kesel sama pacarnya. jadi biar dijailin dulu gitu haha. oke thank you ya :)

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Tell me what do you want to tell :)