Menunggu untuk Waktu yang Lama

Aku masih terjaga dari tidurku. Entah mengapa, akhir-akhir ini rasa kantukku sulit sekali datang. Pikiranku hanya terfokus hanya pada satu hal. Otakku masih saja mengulang nama yang sama berkali-kali. Kamu. Semakin aku berusaha membuang namamu, semakin dia ingin terus bertahan di sana. Seakan dia tau dimana dia harus bersemayam.

Malam ini terlalu indah untuk kunikmati sendirian. Aku menikmati suasana malam dari ketinggian beberapa meter di atas permukaan laut. Lampu-lampu yang berkelap-kelip begitu cantik menghiasi gelapnya suasana malam. Ribuan bintang pun ikut menambah keindahan langit gelap yang terhampar sangat luas. Udara malam ini begitu dingin. Bahkan sangat dingin, merasuk ke dalam tubuhku melalui celah pori-pori. Tapi itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan dinginnya sikapmu terhadapku selama ini.


Besok, tepat satu tahun kamu pergi.

Kamu, orang yang tidak pernah melihat aku.

Kamu, orang yang selalu mencari gadis lain, padahal aku selalu ada di sampingmu.

Kamu, orang yang tidak menyadari ketulusanku.

Kamu, yang tidak tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari siapapun.

Kamu, sahabatku sendiri.

Apa kabarmu di sana? Kuharap kamu baik-baik saja. Tapi kuyakin, selama ada dia, hidupmu akan selalu baik-baik saja.

Entah mengapa, aku masih saja menunggu kepulanganmu. Padahal hatiku sudah sangat terluka menunggu sebuah ketidakpastian. Padahal kamu tidak menyadari bahwa aku, sahabatmu, telah menunggumu untuk waktu yang lama. Bahkan sangat lama.

Tapi, mengapa kamu tidak pernah sedikitpun merasakannya?

Aku tau, tentu saja kamu tidak memiliki perasaan yang sama. Aku tau, tentu saja kamu tidak mencintaiku. Kamu hanya menganggapku sahabat, bukan?

SD, SMP, SMA, sampai kuliah, kita habiskan bersama. Sekolah yang sama, kelas yang sama, bangku yang sama, universitas yang sama, fakultas yang sama, bahkan jurusan yang sama. Nyaris semua waktu kita
habiskan bersama. Tentunya sebelum kamu memilihnya sebagai teman dekatmu.

Entah sudah berapa kali kamu mengganti teman dekatmu, hingga pilihanmu bertahan padanya untuk waktu yang cukup lama, dua tahun. Dan kamu bercerita padaku bahwa kamu menginginkannya sebagai pendamping hidupmu selamanya. Tidakkah kamu menemukan kesedihan yang terpancar dari mataku saat itu?

Kita memang berbeda. Aku termasuk orang bertipe saintis, sementara kamu lebih ingin menjadi seorang seniman. Tapi perbedaan itu membuat kita bisa saling melengkapi. Puluhan lagu kamu ciptakan saat aku sedang berkutat dengan makalah-makalahku.

"Jangan terlalu serius." ujarmu saat itu.

Kini semua terasa berbeda. Semuanya tak lagi sama. Kamu meneruskan karir bermusikmu keluar negeri, bersama calon-pendamping-hidupmu. Harus kuakui, kalian memang pasangan yang serasi. Sementara aku meneruskan cita-citaku untuk menjadi seorang dokter anak. Jelas saja, perbedaan kita membuat kamu lebih memilihnya.

Jika suatu saat kamu kembali ke sini, bersamanya, berbahagialah. Hanya itu yang mampu kuucapkan padamu. Doa yang (seharusnya) tulus terucap dari mulutku.

Biarlah, perasaan ini cukup aku yang pendam sendiri. Karena andaikan kamu tau, kamu takkan pernah bisa membalas perasaan ini, bukan? Sekali lagi, kamu hanya menganggapku sahabat. Dan aku menyadarinya. Tapi jika andaikan kamu tau, tolong jangan paksa aku untuk berhenti mencintaimu karena aku takkan pernah bisa melakukannya.

Pict source: tumblr


With love,

Dwi sartikasari

You Might Also Like

0 komentar

Tell me what do you want to tell :)