[Cerpen] 30 Days
Suara
jeritan orang-orang di ruangan melengking ke berbagai sudut. Beberapa perempuan
sibuk berlarian keluar sambil menenteng high
heels dan membawa berkas-berkas penting. Sebagiannya bahkan ada yang
membawa laptop. Api masih berkobar di sudut ruangan dan mulai merambat ke loker
kecil berisi folder-folder dan perlengkapan alat tulis kantor. Beberapa pegawai
pria mulai memegang APAR dan mengarahkannya ke kobaran api. Asap putih bercampur
asap hitam mulai mengepul di ruang divisi keuangan.
Di
ruangan lain, Quina duduk dengan lutut gemetar. Degup jantungnya berderap
cepat. Raut wajahnya pucat dan keringat menetes di pelipis. Mejanya yang
berhadapan langsung dengan Air
Conditioner membuatnya bisa melihat percikan api penyebab kebakaran kecil
tadi di ruangannya.
“Quin,
kamu gak papa?” Firly menghampiri Quina dan duduk di sampingnya.
Quina
menggelengkan kepalanya. Firly masih mengelus bahu Quina berusaha menenangkan.
Namun wajah Quina semakin pucat. Napasnya tersengal-sengal. Jeda beberapa
detik, badannya melemas dan matanya tertutup.
Firly panik.
***
“Kamu
nggak papa?”
Quina
membuka mata dan menyadari seorang pria berkulit sawo matang, berambut pendek
dan disisir rapi, tersenyum menenangkan. Kemeja biru tua polos beserta wangi Bvlgari mengusik indera penglihatan dan
penciumannya.
“Ini,
minum dulu.” Jer menyodorkan gelas berisi air putih. Ia duduk di samping Quina
yang masih terbaring lemah di tempat tidur.
“Yang
lain mana, Jer? Kenapa kamu di sini?” Quina mencoba bangkit sambil mengambil
gelas dan meneguk isinya.
Jer
hanya tersenyum. “Yang lain udah pulang. Ini udah jadwal pulang, Quin.”
Selama
ini, Quina tidak begitu mengenal Jer. Yang dia ketahui dari Jer hanyalah, pria
itu berada di divisi penjualan, umurnya berjarak 4 tahun lebih tua darinya dan
mereka lulusan dari universitas yang sama. Ia jarang bertemu Jer karena selain
berbeda divisi, ruangan Jer pun ada di lantai tiga. Tepat di lantai atas
ruangannya.
“Firly
udah pulang?”
“Iya,
tadi saya udah suruh dia pulang. Biar kamu saya antar.”
“Eh,
nggak perlu. Saya bisa pulang sendiri.”
Jer
mendesah. “Cuma laki-laki gak bertanggung jawab yang ngebiarin cewek sakit
pulang sendirian saat hari mulai gelap.”
Sorot
mata bulat itu membuat jantung Quina berhenti hanya sedetik. Selanjutnya, ia
sendiri tidak bisa berhenti mengontrol ritme yang berdegup semakin cepat.
***
Quina
tidak pernah tahu bahwa sejak hari itu, hubungannya dengan Jer malah semakin
dekat. Jer sering mendatangi ruangan Quina untuk sekadar mengajaknya istirahat
bareng. Jer selalu punya cara untuk mencari-cari topik obrolan tentang keuangan
agar ia bisa masuk ke ruangan Quina dan mengobrol.
“Belum
pulang, Quin?” Jer berjalan masuk dan duduk tepat di kursi depan meja Quina.
Perempuan
itu menghentikan aktivitasnya sejenak untuk menatap Jer. Entah kenapa Jer seperti
punya magnet untuk menarik tatapan Quina padanya. Selalu ada letupan kecil
dalam hatinya tiap matanya bertemu dengan mata cokelat Jer. Ada perasaan yang
tak asing lagi. Ia pernah merasakannya sekitar setahun lalu, saat hubungannya
baru dimulai dengan Rion.
“Belum.
Kamu sendiri belum pulang? Mau pulang bareng lagi?” Quina tersenyum usil.
“Lagian
kamu juga nggak bawa motor, kan? Sengaja ya?” Jer tidak mau kalah. Senyum
usilnya balas disunggingkan.
Quina
tak menjawab. Pipi ramping itu merona. Lesung pipinya terlihat jelas. Ia
kembali fokus pada kerjaannya yang hanya tinggal sedikit lagi.
Sementara
Jer dengan tenang menunggu Quina sambil bersiul-siul ringan. Tubuhnya
disandarkan ke sandaran kursi. Kaki kanannya ditumpangkan ke paha kiri dengan
lebar. Tanpa sadar, kedua ujung bibirnya tertarik saat memandangi Quina yang sibuk
menatap layar laptop. Rambut panjang Quina diikat setengah bagian atas. Poninya
dibiarkan menjuntai sebelah kanan. Matanya yang sedikit sipit diulas eye liner—terlihat jadi lebih bulat.
Kulitnya yang putih nampak manis disapu blush
on pink dan lipstick nude pink
mengilap. Ia mengenakan blus motif floral berwarna pastel dibalut blazer krem dan rok span selutut
berwarna senada dengan blazernya.
“Done!” Quina menutup layar laptop dan
merapikan mejanya. “Pulang?”
“Yuk.
Makan dulu ya?”
Quina
mengangguk.
***
“Fir?
Ini kado dari siapa?” Quina tercengung mendapati sebuah box warna pastel tergeletak di atas mejanya. Tepat di samping
berkas yang harus ditandatangani.
“Nggak
tau Quin. Aku baru dateng juga kok.” Firly nampak acuh tak acuh. Ia mulai
menyalakan laptopnya.
Dering
ponsel Quina berbunyi.
“Halo,
Jer? Kenapa?”
“Udah
buka kadonya?”
Quina
kembali menatap box pastel itu dan
senyumnya mengembang. “Jadi ini dari kamu? Untuk apa?”
“Ya
kemarin jatah uangku untuk bayarin kamu makan kan gak kepake, makanya aku beliin buat
kado.” Jer terkekeh di sebrang sana.
Quina
terkesiap. Masih sepagi ini, di ruangan ber-AC, pipinya sudah memanas dengan
cepat. “Jer, kamu nggak perlu repot-repot gini.”
“Aduh
kerjaanku masih numpuk nih. Sampai ketemu nanti sore ya. Semoga suka kadonya.”
Jer cepat-cepat memutus sambungan telepon.
Senyum
Quina masih menggantung di akhir pembicaraan. Ia tahu, dirinya dan Jer sudah
melangkah terlalu jauh. Mungkin Quina lupa, ada hati yang terluka di ujung sana.
***
“Quin.”
Jer menoleh ke samping kiri, menatap Quina yang sibuk memperhatikan kemacetan
Ibu Kota.
“Kenapa?”
“Apa
arti kedekatan kita sebulan belakangan ini?”
Hening.
Quina menggigit bibir bawahnya. Kesepuluh jarirnya diketuk-ketukkan ke paha.
Pikirannya mendadak ruwet.
“Quin?”
Quina
masih diam.
“Kalo
boleh jujur, aku udah tertarik sama kamu saat pertama kamu masuk kantor, tiga
bulan lalu.” Jer mencuri pandang ke arah Quina. “Tapi aku nggak berharap lebih
karena aku tau banyak yang naksir kamu di kantor.” Jer kembali fokus ke jalanan
yang padat. Hanya maju beberapa ratus meter, mobilnya kembali berhenti.
“Ternyata,
kebakaran kecil itu membawa takdir bisa memperkenalkan kita. Sampai kita bisa
sejauh ini.” Jer diam senejak. Ia menghela napas, “Aku harap kita bisa
ngelanjutin hubungan ini ke tahap yang lebih serius, Quin. Aku tertarik sama
kamu.”
Sesuatu
meledak di dalam dada Quina. Berdebum. Nyeri dan ngilu.
“Jer,”
Quina berusaha menatap sorot mata cokelat itu. Sorot yang selalu hangat dan
tenang. “Jujur, aku seneng bisa deket sama kamu sekarang. Kenal sama orang
kayak kamu. Semangat ke kantor, semangat kerja, nggak pernah capek karena kamu
selalu penuh kejutan.” Ia kembali menatap jalanan. “Kalau boleh dibilang, aku
pun tertarik sama kamu.”
Hati
Jer membuncah bahagia. “So?”
“Tapi,
aku tau aku salah banget. Harusnya aku jaga jarak dari dulu sama kamu sebelum
kita sampai sejauh ini. Harusnya aku bisa menjaga hati. Harusnya aku sadar, aku
masih punya orang yang mungkin di sana, dia masih ngejaga hatinya buat aku.”
“Maksudnya…”
Jer menggantungkan kalimatnya.
“Iya,
aku lagi break sama Rion, pacarku.
Kita break karena beberapa bulan lalu
dapet masalah yang mengharuskan kita break.
Salahnya, saat lagi jenuh dan jauh sama Rion, aku jatuh hati sama cara kamu
deketin aku.” Quina berhenti. Membiarkan dirinya menjatuhkan air mata.
Giliran
Jer yang tidak menjawab. Hatinya hancur lebih dari kepingan-kepingan. Andai dia
bisa menangis lepas seperti yang dilakukan Quina di bangku penumpang. Quina
menggenggam jemari Jer yang bersarang di persneling mobil. Terasa dingin. Bahkan
jemarinya pun ikut mendingin. Menjalar ke lengan atas, tenggorokan, hingga
hatinya.
“Kalau
ada kata yang maknanya lebih dari maaf, itu yang mau aku bilang. Jujur, aku pun
masih sayang sama Rion. Aku nggak bisa gitu aja berpindah hati hanya karena
kamu lebih baru. Sesuatu yang baru memang terlihat lebih menarik. Tapi gak
semudah itu ngengantiin kenangan dengan yang lama.” Jemari Quina meremas jemari
Jer yang terasa semakin dingin.
Jer
menerawang. Genggaman itu terasa hambar. Matanya mengilap terkena lampu rem
dari depan mobilnya, juga dari lampu-lampu jalanan malam. Ia menahan air
matanya.
Quina
mendekatkan dirinya ke tubuh Jer. Ia merenggangkan tangan dan memeluk tubuh Jer
dari samping. Wajahnya disudutkan ke bahu pria itu. Di atas kemeja berwarna cokelat,
air mata Quina tumpah-ruah.
Jer
mengangkat tangan kirinya perlahan-lahan dan dijatuhkan di kepala Quina. Ia tahu
ini menyakitkan. Ia tahu ini mengiris hulu hatinya. Dan ia sangat tahu. Mulai
malam ini, ia harus segera mengakhiri sesuatu yang bahkan baru saja akan ia
mulai.
Karena ada saatnya sesuatu lebih baik diakhiri daripada memaksa dilanjutkan tapi mengiris hulu hati
39 komentar
keren ceritanya, awal-awalnya bagus, lama-kelamaan ketika saya sudah mulai masuk ke dalam jalan ceritanya, seakan-akan tidak bisa berhenti membacanya, alur ceritanya bikin penasaran. Endingnya bagus :)
ReplyDeleteMakasih Aldi, siapa tau bisa kasih kritikan dan komentarnya hihi
DeleteSetuju, alurnya keren banget, apalagi endingnya~
DeleteThank youuu
DeleteLagi2 Dwi berhasil membuatku terkesima dg pilihan kata yg cocok bgt di setiap cerpennya.
ReplyDeleteDwi emang jagooooo. Kapan novelnya keluar???
Quina. Nama yg bagus :) bisa buat referensi nama anakku nih (eh tapi anakku kam cowok) hahaha
Endingnya nyesek. Kasian Jer di phpin sama Quin. Ternyata Quin break ma kekasihnya duuuuhhh
Btw peran Firly di atas apaan ya?
Hihi makasih Kak Mei^^ novelku nggak lolos, doain aja biar bisa masuk setelah revisi nanti ya.
DeleteYa udah gpp, buat anak cewek nanti ya Kak.
Iyaaa dia nggak penting sih, cuma untuk mempertemukan Quin sama Jer aja itu.
ah,... kok saya juga ngerasa sakit ya pas baca yang terakhir waktu Quina bilang tentang perasaannya.
ReplyDeleteceritanya keren mbak, bikin pembaca hanyut dalam imajinasi untuk ikut masuk ke dalam ceritanya.
Iya aku pun yang bikin sakit hati sendiri, Ara.
DeleteTerima kasiiihhh.
Bahkan penulisnya juga ikut sakit,
Deleteah... kenapa ya soal cinta terasa sangat menyakitkan padahal sangat menyenangkan diawal
Hahaha yoiii.
DeleteBecause that is love.
love.
Deleteentah kapanitu akan saya temukan
masih mikir akan ribet urusan kalau soal cinta
Haduh, ternyata Quin masih punya rasa sama yang lain. Dan orang baru macam Jer, dia lelaki yang baik, dia tidak egois, jarang ada lelaki seperti itu :')
ReplyDeleteAh, jadi keingat sama mantan ini. Ah, mbak Dwi ini bikin proses move on kembali terhambat xD
Iya jarang banget:(
DeleteAh, masa sih? Haha maafkan akuuuu
mengakhiri apa yang mungkin saja baru akan dia mulai, keren. rapi mbak tulisannya... pakai paragraph menjorok ke dalam pula. jadi, itu si quina beda 4 tahun sama jer? kata orang2 sih kalau pacaran beda 4 tahun ceweknya lebih muda itu... bawa hoki :)
ReplyDeleteMakasih, Jev. Actually I have to learn more, more and more. Iya sayangnya hanya deket tanpa bisa lanjut.
DeleteCeritanya keren, sangat menyentuh... tokoh utamanya yang cewenya kan ya... hehe... jadi si cewe ini setia dan tetap menjaga hubungannya walaupun dia juga sebenarnya suka sama si cowo baru ini... memang, biasanya kalau ada yg baru, yg lama bisa tergantikan... tapi salut dah sama si cewe ini, thanks ya ceritanya...
ReplyDeleteIya, Do. Aku juga salut sama tokoh ceweknya haha.
Deletebener-bener nggak terduga endingnya, gue kira tadi bakalan happy ending kak. pertemuan antara Jer danQuinna juga asik banget yaa, mereka dipertemukan ketika terjadi sebuah bencana. tapi takdir berkata lain, ternyata Quinna masih menjaga hati dengan Rion.
ReplyDeletegue suka banget kak cerpennya. apalagi dengan kalimat 'sesuatu yang baru emang menarik, tapi nggak mudah untuk menghilangkan kenangan lama' itu bener banget1 terkadanga yang baru itu justru membuang kebosanan dengan yang lama aja dan itu terjadi cuman sesaat.
Hahaha oh ya?
DeleteMakasih makasih. Emang gak selamanya yang baru bisa ngegantiin yang lama sih. Biasanya yang baru dateng buat ngeganggu hubungan seseorang yang lagi retak.
Gue selalu luluh sama cerita yang openingnya deskripsi gini. Bikin penasaran buat terus baca. jadi pengen nulis fiksi lagi...
ReplyDeleteIya ayo nulis lagi!
DeleteNyess.. gue bener-bener masuk ke ceritanya dan bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh kedua tokoh diatas.
ReplyDeleteEndingnya nggak terduga banget. Pertemuan yang unik-gara-gara kebakaran-, kejutan-kejutan dan cara pendekatan yang unik, eh gataunya endingnya salah nebak gue.
Kalo gue jadi si Quina, gue mungkin bakal ngelakuin hal yang sama. Karena yang baru emang terlihat lebih menarik, tapi belum tentu bisa lebih baik dari yang lama. Eh wait.. kenapa gue ngebayanginnya malah jadi cewek?
Ah, aku juga kasian sendiri ke tokohnya.
DeleteHahaha, karena tokoh utamanya cewek. Makasih loh Ri udah bisa masuk ke dalam tokoh akunya :D
Aduuuuh endingnyaaa :'D Kok gue kesel yaa sama penulisnya? :'D Maap, kak :'p
ReplyDeletePas baru mulai baca, gue udah mulai senyum-senyum sendiri :D Tapi di pertengahannya, gue terdiam. Menatap monitor sambil tercengang. Duh, bahasa gue -_-
Ngenes banget yaa, kak -_- Semoga cerita fiksi ini kagak terinspirasi dari kisah nyata lo, kak :') Karena rasanya itu bener-bener mengaduhkan -_-
Tapi keputusannya Quina itu bener :') Gak mungkin kan dia deket sama 2 cowok dalam waktu yang bersamaan -_- Gue juga kagak mau digituin :v
Hahaha nggak papa Dim. Udah biasa dimarahin pembaca :))
DeleteNggak kok. Ini hasil imajinasi karena ngelamun. Jadi, nggak jadi marah sama penulisnya kan?
Oh, Ka Dwiii nyesek nihh nyesek banget. Hayooo ini pengalaman ya kak? Atau Cuma cerpen yang fiktif muehehehe
ReplyDeleteEmang gak ketebak ya kak endingnya. Aku pikir juga bakal happy ending, nyatanya enggak. Selalu suka sama cerita yang ka Dwi bikin, selalu bikin hanyut pembaca kak muehhehe
Emang bener banget kak, setuju deh kalo yg baru itu ibarat sebagai iklan aja deh kalo diibaratkan di tv tuh ya. Suka banget sama kata-kata yg terakhir, terkadang kita emang harus mengakhiri sesuatu hal meskipun baru memulai daripada harus sakitnya semakin berlarut-larut, huhuhu
Bukan koookkk just fiction Fat :)
DeleteTerima kasih yaaa.
Aduh, kamu nggak tertohok sama kata-kata itu kan? Nggak mengalami hal yang sama, kan?
Akkkk, kalau bikin cerpen, kakak dwi selalu bagus banget. menghanyutkan di setiap paragrafnya. Apalagi paragraf pertama, selalu bikin penasaran. Showing, pilihan kata, ide cerita sama setting tempatnya keren banget
ReplyDeleteGimana ya, aku juga bingung kalau cari "Siapa yang salah?". Mungkin kondisi. Tapi kalau jadi Jer pasti nyesek banget. dan pilihan Quina juga tepat karena berusaha setia ke pacarnya.
Udah ah, nggak usah mikir siapa yang salah -___- dinikmatin ajaa
Wuuusss komentarnya udah kayak juri cerpen aja. Thanks Kuh. Tapi kayaknya kualitas cerpenku belum sebagus itu deh. Masih harus banyak belajar lagi
DeleteYep. Jangan kebanyakan mikir, nikmatin aja baca cerpennya :D
Anjiiiir.. keren banget Wi!
ReplyDeleteCerpen sekeren ini harusnya gak cuma nongol di blog aja. Lo udah berhasil mengaduk2 emosi gue. Berasa cesss gitu bacanya.
Emang sesuatu yang baru kadang lebih menarik dan menjanjikan, tapi kenangan yang dulu gak semudah juga buat dilupakan.. Quina sama Jer, semacam sayang di waktu yang gak tepat.
Kenapa gak dicoba dikirim ke majalah2 sih wi cerpen beginian, ibarat misal ditolak blog ini bisa jadi 'tempat sampahnya'.. dan isinya sampah yang berkualitas dalam arti positif tentunya~
Harusnya di mana dong Baaannng? Aku berasa mixer ya kalo gitu-___-
DeleteYap. Karena waktu gak selalu berpihak sama kita kan.
Hmm, iya nanti dicoba deh. Masih gak pede Bang hehe
Wih keren kata-katanya Jer, "cuma laki-laki gak bertanggung jawab yang ngebiarin cewe sakit pulang sendirian"
ReplyDeleteKeren cerpennya, dari musibah kebakaran bisa timbul rasa cinta. Cuma apa ya kan aku bingung si Quina diajak makan tapi Jer besoknya ngasih kado karena uang yang dipake makan kemarin gak dipake.
Yah endingnya gitu sih kak, kan ikutan sedih. Jer sih gak tanya-tanya dulu sebelum ngedeketin akhirnya nyesek sendiri deh.
Iyaaa itu si Jer udah mau traktir Quina. Tp doinya gak mau, makanya uang traktiran itu dibeliin kado. Terlalu singkat sih jadi nggak detail ya.
DeleteOw.... ow.... ow.... nyesek....
ReplyDeleteudah berkali2 gue baca cerita kayak gini, tapi tetep aja...
sekali nyesek, tetep nyesek....
quote di akhir lumayan, tapi agak kurang dalem maknanya....
hehehe
Mungkin harus digali lagi biar lebih dalem ya~
DeleteAaaaak sakit banget itu
ReplyDeleteTp harusnya sih si Jer nyari tau segala informasi tentang quina tuh, apa dia udah punya pacar atau bener bener lagi single wkwk
Btw quote terakhirnya keren euy
Iya Bang Dijeh kalo mau pdktin cewek, jangan asal ya. Cari tau dulu nanti nyesek.
Deletemalang banget nasib si Jer, jadi inget dulu jaman pacaran ada yg nembak mantan gue, terus ditolak dah. hahahahaha
ReplyDeleteKarena kalian dulu masih pacaran?
DeleteTell me what do you want to tell :)