Seulas Senyum di Pagi Hari

Matahari pagi ini terlalu bersemangat untuk memancarkan cahayanya. Udara pagi ini terlalu indah untuk kunimati sendirian. Kicauan burung terlalu merdu untuk kudengar. Dahulu, suasana pagi seindah ini selalu kuharapkan setiap hari. Tapi kini, untuk membuka mata saja rasanya aku tak mampu. Semua terlalu pahit untuk kurasakan.

Semua berakhir terlalu cepat. Aku tak pernah terpikirkan sampai sejauh ini.

Aku tak mampu bangkit. Tempat tidur ini mempunyai gaya gravitasi terlalu kuat seakan memaksaku untuk tetap tinggal. Baiklah, baiklah. Aku memang tidak berniat untuk bangkit dan menikmati suasana pagi. Aku sudah tidak bersemangat lagi untuk menghadapi hari. Suasana pagi ini berlawanan sekali dengan suasana hatiku.

Ya Tuhan! Sudah berapa lama aku terpuruk? Sudah berapa lama seperti ini? Aku lupa. Yang jelas, sejak semuanya hilang. Sejak penyemangatku pergi. Sejak Tuhan dengan sesuka hati-Nya mengambilmu dari hidupku.

Kamu. Iya, kamu! Kamu jahat! Kamu jahat! Aku kembali menjerit histeris. Aku seperti orang kehilangan kesadaran. Aku tak berjiwa. Bahkan aku tak bernyawa. Sebagian nyawaku telah hilang karena kau membawa pergi sebagian dari nyawaku.

Coba saja kamu bayangkan, kaki yang berpasangan dapat melangkah saling melengkapi. Dan kini, salah satunya hilang. Tentu saja tidak bisa lagi saling melengkapi. Tentu saja tak lagi sempurna. Dan tak lagi sama. Kamu tahu apa yang kurasakan saat ini? Tersiksa. Kamu telah pergi. Aku merasakan kehilangan. Aku merasakan ketidaksempurnaan. Aku merasa berat untuk menjalani hari-hariku sendiri. Hidupku tak lagi sempurna.

Entah sampai kapan aku terpuruk seperti ini. Seingatku, kamu sudah pergi setahun lalu. Dan sampai saat ini, keadaanku belum berubah. Masih terus mengingatmu, masih terus menangisimu.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku dan kuhampiri jendela. Kutatap langit sejenak, lalu kututup mataku. Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ya Tuhan! Sudah berapa lama aku tertidur?

Aku membuka mata dan kembali kutatap langit. Dan... Apa? Kenapa ada bayangan wajahmu di sana? Ah, tidak! Kenapa aku juga melihat wajahmu tersenyum?

Tubuhku seketika menegang. Aku menahan napas selama beberapa detik lalu mengembuskannya setelah aku sadar. Lalu aku kembali menatap langit, tapi kini aku tak melihat senyummu lagi. Bahkan wajahmu pun sudah tak ada di sana. Kemana kamu?

Sedetik kemudian air mataku meleleh. Aku menangis sekuat yang aku bisa. Mungkin, aku terlalu merindukanmu.

"Aku janji, aku takkan menangis lagi. Maafkan aku sudah memberatkanmu. Aku hanya... Hanya terlalu merindukanmu." Aku menghapus air mataku. Lalu tiba-tiba saja aku merasa bibirku tertarik perlahan-lahan menyunggingkan sebuah senyuman.

Aku bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Aku terus memandangi langit dan berkata, "Kamu tahu? Hari ini, hari ini aku sudah bisa tersenyum! Bukankah itu baik?"

You Might Also Like

0 komentar

Tell me what do you want to tell :)