Senja Kelabu
Matahari
di sore hari. Perlahan mulai menyembunyikan dirinya di balik gumpalan
awan putih yang besar. Aku masih menikmati pemandangan indah itu dari
ayunan yang kuayunkan pelan di sebuah taman komplek. Namun, kurasa
keindahan itu tidak sesempurna dulu. Setahun lalu, aku bisa menikmati
itu bersama seseorang. Orang yang sempat mengisi hari-hariku selama 2
tahun. Orang yang kutinggalkan karena sebuah alasan…
Matahari
semakin menyusup bersembunyi di balik awan. Aku pun memutuskan untuk
pulang ke rumah dan mandi karena hari itu aku sibuk mengurusi kegiatan
BEM di kampusku. Aku melewati sebuah rumah minimalis bercat cokelat muda
dengan tempelan batu marmer di seperempat temboknya. Aku mempercepat
langkahku. Rasanya aku tak ingin melihat lagi rumah itu.
***
“Putri!” aku menoleh ke sumber suara.
“Eh, Kak Syifa ya?”
“Iya lo masih inget sama gue. Apa kabar nih?”
“Eh gue baik-baik aja. Lo sendiri gimana Kak? Lagi sama siapa sekarang? Haha udah lama ya kita gak curhat-curhatan lagi.”
Syifa
duduk di kursi di hadapanku dan kami mulai berbincang-bincang heboh.
Syifa adalah kakak kelas SMAku dulu. Umur kami beda 2 tahun. Kami sudah
terlihat seperti adik kakak. Dia sudah sangat dekat dengan keluargaku,
begitupun denganku. Biasanya dulu kami bercerita tentang gebetan, pacar,
mantan, dan apapun yang berhubungan dengan itu.
“Gue dijodohin nih Put sama nyokap gue.”
“Eh
serius? Ya ampun zaman gini masih musim jodoh-jodohan?” aku mendengus
kesal. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu…
“Iya
dan gue pun belum ketemu calonnya. Gue udah berusaha nolak, tapi nyokap
gue ngotot dan gue gak mungkin terus-terusan nolak. Lagian gue juga
udah selesai kuliah, kerja udah, ya udah tinggal nyari pasangan deh.”
“Mmhh.. iya deh lo enak. Nah gue? Setahun lagi deh lulus, amin…”
“Haha iya lo cepet ya kuliahnya. Pasti IPK lo tinggi-tinggi deh.”
“Nggak deh biasa aja Kak.” Aku tersenyum rendah. Aku paling tidak suka jika orang-orang memuji IPKku secara berlebihan.
“Oh iya nanti deh gue kenalin lo sama calon gue kalau gue udah kenalan ya haha.”
“Oke deh Kak. Rencana nikahnya kapan nih?”
“Nyokap
gue maunya setahun lagi. Tapi gak tau gue juga belum ngerasa cocok sama
calonnya, haha. Eh gue duluan ya mesti balik cepet nih. Next time kita cerita-cerita lagi.”
“Oh iya hati-hati Kak…” aku melambaikan tangan ketika perlahan Syifa keluar dari Mc. Donald.
Tiba-tiba
aku teringat seseorang lagi. Dulu, aku sering sekali menghabiskan waktu
sore hari di Mc. Donald bersama mantanku. Dia dimana? Aku tak tahu. Dia
masih mengingatku? Sepertinya tidak. Apa dia baik-baik saja? Kuharap
iya.
Ada
sedikit harapan aku bisa melihatnya lagi. Tidak! Tidak hanya sekedar
melihat. Namun tersenyum. Saling menyapa. Mengobrol. Bercanda. Dipeluk.
Ya Tuhan. Aku merindukannya… secara tidak sadar air mataku menetes. Aku
melihat ke setiap arah, apakah ada yang memerhatikanku atau tidak. Namun
ternyata tidak ada.
Tunggu!
Aku berharap untuk bisa melihatnya? Bukankah dulu aku yang
meninggalkannya dan tak ingin lagi melihatnya? Itu karena… Ya Tuhan!!!
***
Entah
mengapa, akhir-akhir ini orang yang sering hadir di pikiranku, yang
merupakan bekas pacarku, yang bernama Egi, menyita habis semua waktuku.
Rasanya, aku sangat merindukannya. Mungkin karena beberapa malam
terakhir dia sering hadir ke dalam mimpiku sepertinya. Aku membuka laci
di sebelah tempat tidurku. Aku menyimpan semua kenanganku dengan Egi di
sana. Seandainya saja tidak pernah ada masalah itu. Mungkin saat ini aku
masih manis dengan Egi, layaknya dahulu.
Aku memandangi satu demi satu foto kami dahulu. Aku melihat tumpukan novel yang diberikannya padaku. Ada juga frame, kamera, gelang, kalung, boneka, dan aksesoris lainnya. Dan yang paling membuatku menangis adalah sebuah kotak musik berwarna pink soft.
Dia memberikannya ketika kami sedang bermain ayunan di taman komplek.
Sore hari, ketika matahari mulai bersembunyi di balik awan. Saat kotak
musik itu dimainkan, alunan lagunya yang merdu, dengan suasana senja
yang jingga dan angin sore yang bertiup lembut mendukung keindahan sore
itu. Kalau kamu kangen aku, kamu duduk aja di sini setiap sore sambil mainin kotak musiknya ya. Itu kata-kata yang teringat jelas di telingaku hingga saat ini.
Aku
terdiam sejenak. Saat ini aku benar-benar merindukannya. Sangat
merindukannya. Aku ingin pergi ke taman. Tapi itu tidak seharusnya
kulakukan. Bukankah aku harus melupakannya? Aku terdiam sejenak. Ah
biarlah. Ini terakhir kali aku akan mengingatnya. Setelah beberapa saat
menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk pergi ke taman dengan
membawa kotak musik itu. Aku duduk di ayunan tempat yang biasa aku
tempati. Meskipun aku sudah beranjak dewasa, namun ayunan itu tetap
menjadi tempat favoritku dari dulu. Hanya saja, tidak ada lagi Egi di
sampingku.
Sore
itu langit agak mendung. Namun suasana senja masih terasa. Langit
terlihat menjadi berwarna jingga kelabu. Perpaduan antara awan yang
mendung di sebagian langit dan cahaya matahari yang muncul dari balik
awan lainnya. Kotak musik itu mengalun sangat lembut. Aku tak mampu lagi
untuk menahan air mataku. Setetes demi setetes air mataku jatuh dari
pelupuk mataku hingga akhirnya pipiku basah karena air mata yang jatuh
terlalu banyak.
“Kangen aku?” suara berat itu terdengar di belakangku.
Aku menoleh. “Ka…mu?” aku tidak bisa memercayai kedatangannya.
Egi
menghampiriku dan menghapus air mataku dengan tangannya. “Kamu bawa
kotak musik itu karena kangen sama aku? Kok kita bisa sehati ya? Aku
juga kangen sama kamu.”
Ya
Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku sudah tidak pernah melihatnya
sejak setahun lalu. Apalagi diperlakukan seperti barusan. Tapi rasanya
sangat tidak mungkin untuk mengulang cerita lagi seperti dulu.
“Kamu kenapa ada di sini?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Aku
bahagia bisa liat kamu baik-baik aja.” Senyuman itu terpancar dari raut
wajah Egi. Untukku. Dia berjalan menghampiriku. Berdiri tepat di
hadapanku. Dia membungkukkan badannya dan tiba-tiba saja dia mencium
ujung kepalaku.
Aku
diam saja. Entah, rasanya aku sangat merindukan hal ini. Tiba-tiba dia
memelukku erat. “Aku gak mau kehilangan kamu lagi, Putri. Tolong jangan
pergi.”
Aku
menangis untuk beberapa saat di bahunya. Namun aku sadar akan suatu hal
yang tidak mungkin menyatukan kami kembali. Aku melepaskan pelukannya.
“Ngapain kamu ke sini? Udah sana aku gak mau lagi liat muka kamu!” aku
membentaknya seperti orang hilang kendali.
“Putri, kamu kenapa? Kamu…”
“Udahlah! Ngapain lo muncul lagi di hadapan gue hah? Untuk apa lo datang lagi kalau nyatanya lo akan pergi lebih lama lagi?”
“Put, aku gak pernah pergi. Kamu kan yang pergi dari aku?”
“Ya.
karena percuma! Lo bakal dapet pengganti gue. Lo bakal pergi bersama
orang lain untuk selamanya. Haha udahlah. Lo juga udah nemu kan calon
istri lo itu? Nyokap lo pasti kasih calon yang baik buat lo. Dan tentu
saja itu bukan gue!”
Egi
hanya bisa menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku ingin segera
pergi, meninggalkan Egi dan tak ingin melihatnya lagi. Tidak akan
pernah!
“Kenapa diem? Lo udah tau kan calonnya? Siapa?” emosiku memuncak.
“Iya Put, namanya Syifa.” Egi masih menunduk merasa bersalah.
“Syifa? Syifa Aninda?”
“I.. iya. Kamu… kenal?” tanya Egi ragu.
“Oh..
Syifa. Haha iya selamat deh. Dia orang yang baik. Lo pantes dapetin
dia. Dia juga pantes buat gantiin posisi gue di hidup lo.” Aku
melangkahkan kakiku gontai. Rasanya aku berjalan tanpa membawa ruh. Syifa? Haha.. permainan apa ini, Tuhan? Aku mendengus kesal dalam hatiku.
“Kamu mau kemana?” Egi menarik lenganku.
“Tolong! Semua urusan kita benar-benar berakhir hari ini. Bye.”
Kata yang sebenarnya tidak pernah ingin kuucapkan pada seorang Egi.
Namun aku tau, saat inilah seharusnya kata itu kuucapkan. Bye. Iya, selamat tinggal Egi. Terima kasih untuk semua hal yang pernah kita lalui bersama.
Aku
berjalan semakin lemah, semakin tak terarah. Aku seperti tidak memiliki
tulang. Rasanya ingin seketika itu menjatuhkan tubuhku. Tapi aku tak
ingin terlihat lemah di depan Egi. Bagaimana bisa, pada akhirnya seorang
Egi dan Syifa berjalan bersama ke pelaminan? Aku bermimpikah? Ini
permainankah? Atau Tuhan sedang mengujiku? Entahlah. Yang jelas, aku
berharap hanya hari ini saja aku merasakan senja kelabu. Di bawah senja
dan awan yang mendung, hatiku menangis sekeras-kerasnya.
Source: Senja Kelabu
With Love,
Dwi Sartikasari
0 komentar
Tell me what do you want to tell :)