Melewatkanmu

Aku duduk manis di depan gedung itu. Aku sedang menunggu seseorang yang sebentar lagi keluar karena jadwal mata kuliahnya berakhir. Hmmm aku masih saja terpikirkan bagaimana awalnya aku mengenal dia. Meskipun kini aku dengannya sudah tidak sedekat dulu.

"Hei! Lo ngapain di sana, Tera?" tanya Andini mengganggu konsentrasiku.

"Ah. Nggak kok. Gue lagi nunggu jam matkul nanti." ujarku mengeles.

"Tadi gue nyariin lo tau." Andini duduk di kursi tepat sebelahku.

Aku masih tetap berkonsentrasi memerhatikan satu per satu orang yang keluar dari gedung 2. Andini memerhatikanku dan melekatkan pandangannya padaku.

"Masih dengan orang yang sama?" tanya Andini sedikit kesal.

Aku hanya mengangguk. Dan tiba-tiba saja senyumku mengembang sukses karena aku melihat orang yang kutunggu sejak 10 menit lalu.

Cowok yang memiliki tinggi rata-rata, dengan rambut model spike, berkulit putih, dan senyum yang manis. Hari ini dia memakai kemeja biru bergaris dengan dalaman T-shirt berwarna biru tua. Converse-nya pun berwarna biru. Ah, aku tau dia termasuk laki-laki yang suka memerhatikan penampilan. Lihat saja, mukanya putih bersih. Dia terlihat menawan, di depanku.

Dia berjalan ke arahku. Aku deg-degan setengah mati. Aku menoleh ke belakang, siapa tau dia ingin menghampiri orang yang ada di belakangku. Namun ternyata itu hanyalah kebodohan semata. Di belakangku hanya ada sebuah tembok besar, gedung 1.

"Nanti kita latihan ya." suara lembut dan sedikit agak serak itu mampu membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Kamu ngomong sama siapa? Aku?"

"Sama tembok noh!" ujarnya sedikit kesal.

Aku hanya tersenyum, lalu aku mengangguk.

"Boleh minta nomor kamu?" dia mengeluarkan hpnya.

Apa rencanaMu, Tuhan? Aku berceloteh dalam hati sambil mengetikkan nomor handphone-ku.

"Oke nanti kabar-kabaran aja ya." ujarnya memberi seulas senyum sebelum akhirnya pergi.

"Tuhan punya rencana baru, Ter. Be careful ya." Andini menasehatiku.

Aku mengangguk yakin.

***

Ternyata rencana Tuhan memang indah. Aku hanya butuh waktu sekitar 2 minggu untuk mulai menyesuaikan diri dengannya. Aku mulai dekat dengan Rian. Walaupun belum ada kejelasan akan hubungan kami. Tapi sejauh ini responnya baik.

"Gimana kuliah kamu? Baik-baik aja kan?" tanyanya membuka perbincangan setelah kami tiba di sebuah cafe.

"Sejauh ini ahamdulillah baik. Aku mulai terbiasa dengan tugas dan dosen yang nggak pasti." ujarku sedikit kesal.

"Haha, makanya belajar sendiri atau belajar kelompok. Dosen emang gitu. Php." nasehatnya padaku. Tentu saja plus senyum yang membuatku rasanya ingin meleleh saja saat itu.

Aku mengangguk. "Kamu gimana?"

"Aku tinggal nunggu sidang kok. Doain ya."

"Pasti. Semoga lancar ya. Dan cepet lulus juga." aku sedikit berat menerima kenyataan bahwa dia tak akan lama lagi bertahan di kampus itu.

"Makasih. Nanti jangan kangen ya kalau aku gak ada haha..."

"Yee.. Eh wisudanya mau aku temenin nggak? Nanti kita foto." aku menawarkan penuh harap.

"Nggak usah deh aku ngerepotin kamu."

"Nggak papa kok. Aku temenin ya ya ya..." aku sedikit memaksa.

"Nggak usah, Ter." ekspresinya berubah sesaat.

Aku terdiam.

***

Lima bulan berlalu. Hari ini, Rian selesai melaksanakan wisuda. Tentu saja tanpa ada aku. Meskipun diam-diam aku hadir melihatnya naik ke podium karena dia termasuk mahasiswa terbaik. Aku memang bangga padanya. Tapi, tunggu. Aku melihatnya berfoto dengan perempuan lain. Dia siapa?

Aku memerhatikannya semakin lekat. Tiba-tiba saja dia mencium kening perempuan di sebelahnya. Aku terkejut setengah mati. Mungkinkah dia pacarnya? Lantas dulu dia dekat denganku, untuk apa?

"Tera, kamu di sini?"

Aku terkejut. Kenapa dia tahu aku di sini? "Iya." tak ada lagi senyuman yang dapat kuberikan padanya. Seketika saja ingin kuberikan seluruh air mataku padanya agar dia tahu seberapa sakitnya aku.

"Kenalin, ini pacar aku."

Aku terpaksa tersenyum dan menyambut uluran tangan pacarnya.

"Maaf ya aku gak bilang sama kamu kalau aku punya pacar baru. Dia juga sama-sama lulus tahun ini. Dan kami berniat melanjutkan kuliah S2 ke Jepang. Doain ya."

"Iya. Aku duluan ya ada keperluan." aku tak sanggup lagi mendengar celotehan dia lebih lama. Aku tak mampu memendam air mataku. Mereka sudah berdesakkan ingin keluar. Sepanjang jalan aku berusaha menahannya.

***

Hujan di luar membuatku malas untuk melakukan sesuatu. Aku hanya bermalas-malasan di tempat tidur ditemani Andini. Sore ini dia pulang ke rumahku untuk sekedar menasehatiku. Padahal aku sudah meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Tqpi dia bersikeras untuk datang.

"Udalah lo jangan nangis terus. Mau sampai kapan lo nyiksa diri lo kayak gini terus?"

"Gue gak papa Din. Percaya deh."

"Gimana gue percaya kalau lo masih nangis dan ngabisin ratusan tisu?" Andini melihat ke sekeliling kamarku yang penuh dengan ratusan tisu.

"Lo gak usah khawatir. Gue baik-baik aja."

"Dasar ya tuh cowok emang jaht banget! Tau gitu gak gue relain deh sahabat gue dideketin sama cowok php kayak dia!"

"Din. Lo gak usah ngejudge dia gitu. Biar aja mungkin dia emang gak sayang sama gue. Dia cuma mau mainin atau manfaatin gue. Ntahlah."

"Ya tau gitu mending lo gak usah kenal dia!"

"Gue bersyukur kok kenal dia. Dia orang yang baik." aku tersenyum. Tapi air mataku tak berhenti mengalir.

Suasana hujan di luar rumah dengan aunan lagu miliknya Adera, Melewatkanmu, sangat sesuai dengan keadaanku saat ini.

"Tuh, Adera bilang harusnya lo melewatkan dia. Dia udah bahagia sama orang lain. Sedangkan lo?"

"Iya gue pasti lupain dia kok. Selamanya."

Tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan sakit. Ada darah keluar dari hidungku. Aku tqk sanggup untuk menahannya. Andini panik dan akhirnya aku jatuh ke dalam bahunya.

***

"Hai." sapa seorang cowok.

"Mau apa lo ke sini?"

"Maaf, gue mau ketemu Tera. Kabar dia baik kan?"

"Oh, iya dia baik. Mau ketemu dia?"

"Tentu. Gue udah 2 tahun gak ketemu dia. Kangen banget."

Mereka berjalan agak jauh dari jalan setelah Rian memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.

"Lo kok ajak gue ke sini?" Rian bingung karena dia berharap Andini akan membawanya ke rumah Tera.

"Ya lo pengen ketemu dia kan? Ini." Andini berhenti di sebuah pemakaman umum. Tepat di hadapannya sebuah batu nisan bertuliskan nama Tera.

"Dia baik-baik aja kok, di sana. Lo gak perlu khawatir. Tuhan pasti jaga dia di sana. Tera kena tumor otak stadium akhir. Dia orang yang baik. Sampai saatnya dia pergi, dia gak nyusahin siapapun. Dia juga udah maafin lo. Jadi lo gak perlu minta maaf. Dia titip salam kalau suatu saat gue ketemu sama lo. Karena dia yakin banget suatu saat lo bakal nyariin dia. Dia juga titip sama gue, tolong titip salam buat lo. Dia sayang sama lo, lebih dari yang lo tau. Dia gak pernah nyesel kenal sama lo walaupun akhirnya lo ninggalin dia. Padahal lo yang mulai semuanya. Sampai akhirnya dia pergi, sayang dia sama lo gak hilang. Lo harus bersyukur masih ada yang sayang tulus sama lo. Setahun lalu, dia pergi, tapi dia masih nangis-nangis kangen lo. Bayangin deh! Padahal lo udah pergi setahun dari hidupnya.."

Tak ada yang dapan dikatakan Rian. Hanya air mata yang mampu mewakili perasaannya saat ini. Di hadapannya, makam seorang gadis yang sempat mengisi harinya, walaupun tanpa status. Perempuan yang selalu menjahilinya. Perempuan yang ceria dan pernah berpura-pura bahagia saat wisuda Rian. Saat dia memperkenalkan pacar Rian padanya. Tera, perempuan yang tidak percaya diri pada suaranya, padahal dia selalu terbawa-bawa untuk lomba dan beberapa event besar dalam kelompok paduan suaranya.

"Gue gak tau harus bilang apa. Gue belum sempat ngomong kalau gue juga sayang sama lo. Bahkan lebih dari sayang. Gue cinta sama lo. Gue nyesel kenapa baru sekarang? Saat lo udah gak ada di hadapan gue. Padahal gue berharap suatu saat nanti gue bisa ngucapin ini tepat di hadapan lo!!!!!!!" Rian berteriak sekencang yang dia bisa.

"Kenapa gak dulu? Kenapa lo baru ungkapin ini sekarang hah?!"

"Karena gue gak bisa jauh sama dia. Gue gak mau berstatus sama dia tapi gue sama dia itu jauh. Gue berusaha membuang perasaan gue. Gue juga gak mau dibilang php. Cewek sebaik dia gak pantes sama gue. Makanya gue jadian sama cewek lain, saat itu."

"Tapi faktanya dia bahagia kan sama lo? Lo udah nyia-nyiain Tera, tau gak!" ujar Andini ketus.

Lagi-lagi Rian menunduk. Air matanya mengalir deras. Air mata ketulusan, untuk seorang Tera. Sejauh apapun dia pergi, tapi hatinya akan tetap ada di hati Rian. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tak ada yang dapat dilakukan Rian selain berdoa semoga Tera pun memikirkan dirinya di sana, sama seperti dirinya yang selalu memikirkan Tera.

Suatu hari, kita berjanji untuk bertemu lagi, bukan, Tera?

***

Aku tak pernah menyesal mengenalmu, Terania Aninda. Meskipun kini kamu tak lagi bersamaku. Tapi kita akan kembali bersama, suatu hari nanti. Aku pun pernah berjanji untuk pulang dan menemuimu, bukan? Maka, tunggulah aku di sana. Sabarlah sebentar saja sampai akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kita. Aku merindukanmu, Tera! Aku merindukan suara tinggimu. Aku merindukan saat-saat kita sering latihan bersama. Aku bahagia denganmu, Tera! Sering-seringlah hadir di mimpiku agar aku tak kesepian tanpamu, Tera! Kamu lihat aku di sini, bukan? Bagaimana keadaanku tanpamu? Aku tak bisa! Aku tersiksa! Mungkin ini rasanya ditinggal pergi oleh orang yang sangat dicintai. Kamu pernah merasakan ini, bukan? Dan sekarang aku pun merasakannya. Sakit... Aku akan mengunjungimu terus, Tera. Agar kamu tidak merasa kesepian di sana, dan aku pun di sini.

Rian menyelipkan surat itu di dalam buket mawar merah, kesukaan Tera. Lau dia meletakannya di atas makam Tera.

Maaf, aku sempat melewatkanmu, Tera. Maaf!!!

:) :) :)

With love

Dwi:)

You Might Also Like

0 komentar

Tell me what do you want to tell :)