Cinta Masa Lalu

“Eh Lintang turunin aku dong...” Vini merengek minta turun.
Saat itu, Lintang sedang menggendong Vini seperti pengantin.
“Nanti kalau udah besar aku gendong kamu kayak gini lagi ya? Kan kita mau nikah,” jawab Lintang polos sambil menurunkan Vini pelan-pelan.
Vini speechless. Mukanya memerah.
“Kamu kok gak jawab? Kamu gak mau nikah sama aku ya?”
“Kok kamu ngomongnya gitu? Kita kan masih kecil... masih enam tahun,” Vini tersenyum.
“Ya enggak apa-apa, jadi nanti kalau udah besar kamu enggak boleh cari cowok lain karena kamu mau nikah sama aku,”
Vini hanya tersenyum manis...
***
10 tahun kemudian...
“Ya ampun Vini, lu ngapain sih ikut-ikut gua terus? Malu tau gak diliat sama siswa lain!” Lintang membentak Vini di belakang kantin.
“Sori Lin, gua cuma pingin memperhatikan keadaan lu doang kok,”
“Iya tapi gak gini caranya! Dari tadi pagi lu ikut-ikut kemanapun gua pergi. Risih tau gak?”
Vini terdiam. Dia menunduk.
“Mending sekarang lu pergi deh, gua mau ke WC. Mau ikut lu?”
Vini shock. Tanpa berkata lagi, dia segera pergi meninggalkan Lintang yang ternyata berhasil menipunya.
***
“Vin, mending lu berhenti ngejar-ngejar Lintang deh. Lu tau kan dia itu banyak ceweknya? Dan apa selama ini misi lu berhasil buat mendapatkan Lintang dan minta maaf sama dia? Nyatanya kan malah dia selalu marah sama lu, malah pergi menjauh dari lu, dan lebih parah lagi dia malah cari cewek lain,” Oshi—sahabatnya Vini menasihati.
“Gua akan berhenti, kalau sesuatu hal memang menyuruh gua buat melakukan itu,” jawab Vini yang membuat Oshi kebingungan.
“Maksud lu?”
“Tau ah,”
“Lu tuh susah ya kalau gua kasih tau,”
“Bukannya gitu Shi, gua gak mau nyerah. Gua mau membuktikan kalau selama ini perasaan gua sama dia tuh tulus,”
“Lu tau apa sih tentang tulus? Selama ini cinta lu selalu bertepuk sebelah tangan kan sama dia? Cinta lu itu gak pernah dibalas sama dia!”
“Iya gua tau, dan gua juga yakin dia gak suka sama gua...”
“Nah maka dari itu mending lu pergi! Gua gak mau liat lu terus-terus ngejar orang yang gak pernah peduli sama lu,” Oshi memotong ucapan Vini.
“Tapi gua yakin suatu saat dia bakalan berubah,” Vini tersenyum-senyum.
“Hhhh....” Oshi mengeluh. Entah bagaimana menyadarkan sahabatnya itu. Tapi dia berharap semoga waktu kan tunjukan jalannya.
***
Pulang sekolah, Vini segera bergegas menuju kelasnya Lintang. Tapi setibanya di sana, Vini melihat Lintang sedang menggandeng seorang cewek salah satu anak dancer. Vini terkejut, tapi baginya itu bukanlah hal yang baru.
Karena tak ingin mengganggu, akhirnya Vini pulang dengan hati yang sakit. Bukan untuk pertama kali hatinya sesakit ini.
“Tuh kan apa gua bilang. Lintang bukan buat lu,” Oshi datang tiba-tiba sambil mengelus pundak Vini.
“Udah biasa kok, suatu saat dia bakalan berubah,” Vini pergi dengan air mata yang menetes.
“Vini, kapan sih lu sadar,” ucap Oshi lemah.
***
“Lintang...” Vini mengetuk pintu kamar Lintang sambil membawakan sarapan pagi untuk Lintang.
“Aduuhhh... berisik lu!” Lintang berteriak kasar.
Vini terdiam. Bi Onah—pembantunya Lintang, hanya dapat menatap Vini iba. Selalu dan selalu Vini diperlakukan seperti itu oleh Lintang.
“Non sabar ya,”
“Gak pa-pa kok Bi, udah biasa,” Vini tersenyum. Padahal dalam hatinya ia menangis. Kenapa Lintang berubah drastis kayak gini?
Penyebab Lintang seperti itu, karena pada saat menginjak SMP Vini pindah ke Surabaya. Dan di sana dia menemukan cowok yang membuatnya benar-benar bahagia. Saat itu betapa sakitnya hati Lintang, karena dia selalu mengharapkan Vini. Dia sangat menyayangi Vini. Tapi hubungan Vini tidak berlangsung lama. Dan begitu Vini kembali ke Depok kelas tiga SMP, Lintang mulai membencinya dan mulai menjauhi Vini.
Kini sikap Lintang sangat berubah. Vini selalu merasa bersalah dan berusaha untuk memperbaiki kesalahannya. Dari mulai mengantarkan sarapan pagi untuk Lintang, mengikuti Lintang kemanapun dia pergi, menemaninya jalan-jalan, membantu mengerjakan tugas dan lainnya. Tapi rasanya Lintang sudah benar-benar mati rasa pada Vini.
Ya, Lintang sudah benar-benar membenci Vini.
***
Pagi itu Vini terbaring lemah di kasurnya. Entah mengapa, tapi ia merasa keadaannya tidak begitu baik. Mama dan Papanya telah mengajaknya untuk pergi ke dokter, tapi Vini menolak.
“Vin, kita ke dokter yuk,” ajak Mama dengan lembut.
“Gak mau Mah...”
“Vini, jangan bikin Mama sama Papa khawatir deh,”
“Papa, aku baik-baik aja kok. Percaya deh,” Vini tersenyum manis pada Papa.
Mama dan Papa saling bertatapan.
“Uhuk.. uhuk... uhuk...” Vini terbatuk keras berulang kali sampai akhirnya ia muntah darah. Vini terkejut. Ya Tuhan, kenapa ini?
“Vini!” ucap Mama dan Papa berbarengan. Mereka terlihat shock.
Vini segera mengelap lengannya yang ada darah sedikit itu. “Aku gak pa-pa kok Mah, Pah,”
“Vini, kamu masih bilang gak pa-pa? Kamu udah muntah darah Vin, kamu harus ke dokter sekarang. Ayo Pah,” Mama terlihat panik.
Vini tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya ia menuruti Mama dan Papa untuk pergi ke dokter.
Ya Tuhan, kasih Vini umur panjang... batin Vini berdoa.
***
Oshi berkali-kali menatap pintu kelas, tapi sudah sepuluh menit pelajaran berlalu Vini tidak datang juga. Oshi mulai cemas dan khawatir.
“Pak,” Oshi mengangkat tangannya.
“Ya? Ada apa Oshi?” tanya Pak Dedi yang sedang duduk mencatat absensi.
“Boleh saya permisi?”
“Oh iya silahkan,”
Oshi bergegas keluar kelas menuju belakang kantin untuk menghubungi Vini.
“Halo,” sapa Vini di sebrang sana.
“Vin, lu dimana? Kenapa gak sekolah?”
“Sori Shi gua sakit, gua lagi di dokter ini. Sori banget ya,” suara Vini terdengar melemah.
“Hah? Lu sakit apa Vin? Kenapa gak bilang dari tadi?”
“Iya sori banget gua lupa,”
“Hmm... oke deh nanti gua telepon lagi deh ya,”
“Iya iya Shi. Thank you ya,”
“Sip...” Oshi menutup handphone-nya.
***
Sepulang sekolah Oshi mencoba mendatangi kelasnya Lintang. Dia berharap Lintang mau menengok teman kecilnya ke rumah sakit.
“Lintang!” seru Oshi pada Lintang yang ternyata sedang melangkah menuju tempat parkir bersama mantannya—Hilda.
Lintang dan Hilda menoleh. “Eh lo,” Lintang menghentikan langkahnya.
“Lin, lu harus nengok Vini sekarang juga!”
“Kenapa sih? Udah gua bilang gak akan ada lagi Vini!” bentak Lintang.
“Vini sakit, dan dia harus menjalani perawatan selama beberapa hari. Makanya kita harus tengok dulu dia,”
“Gak usah. Kan sakitnya belum parah,” sambar Hilda sambil menoleh tajam pada Oshi.
“Oh jadi sekarang lu udah benar-benar lupa sama teman kecil lu? Lu udah gak peduli lagi sama dia? Bagus ya! Padahal kalau Vini cerita tentang lu dan dia dulu, kalian tuh saling sayang. Tapi sekarang? Jauh berubah!” Oshi pergi dengan kesal.
Lintang terdiam. Dia mencerna kata-kata Oshi dan....
“Oshi tunggu!” Lintang meneriaki Oshi yang sudah jauh berada di hadapannya.
Oshi menghentikan langkahnya. Dia membalikan badannya.
“Gua ikut,” Lintang berlari menghampiri Oshi.
“Seriusan?” mata Oshi berbinar-binar.
“Ya. Gua gak mau terus-terus cuek sama dia gitu, di masa lalu ataupun masa yang akan datang gua akan selalu jadi teman terbaik untuk Vini,” Lintang tersenyum manis.
“Oke deh. Yuk,”
Lintang mengikuti langkah Oshi. Eh, dia lupa akan kehadiran Hilda. “Gua duluan ya Hil,”
Hilda tak menjawab. Ia hanya menggerutu kesal.
***
“Apa Mah?” Papa terkejut begitu mendengar penuturan Mama.
“Pah, apa yang harus kita lakukan? Leukimia itu belum ditemukan obatnya... Mama gak percaya kalau umur Vini tinggal sebulan lagi,” Mama menangis.
“Papa gak tau Mah, Papa juga gak tega kalau harus kasih tau Vini,”
Vini yang secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Mama dan Papanya sangat terkejut. Dia menangis, perlahan demi perlahan air matanya mengalir deras.
“Vini?” Oshi menghampiri Vini sambil memeluknya.
“Vin...” ucap Lintang lemah.
Vini menatap Lintang. “Ngapain lu?”
“Gua mau nengok lu. Gua khawatir katanya lu dirawat,”
“Terlambat!” ucap Vini kecut.
“Maksud lu?”
“Gua minta maaf kalau selama ini selalu nyusahin lu,” Vini mengabaikan pertanyaan Lintang.
“Lu ngomong apa sih Vin?” Oshi bingung dengan ucapan Vini.
Vini tidak menjawab lagi pertanyaan Lintang dan Oshi. Dia beranjak ke tempat tidur dan menutup matanya tanpa mempedulikan lagi kedua temannya.
***
Oshi dan Lintang berusaha membujuk Mama Vini untuk menceritakan penyakit Vini. Dengan penuh kehati-hatian, Mama Vini akhirnya menceritakan semua penyakit yang telah Vini derita sejak tiga bulan lalu.
Lintang terdiam. Dia menunduk lemah. Gua mimpi? Ya Tuhan bangunkan gua dari mimpi buruk ini! Gua gak mau kehilangan Vini secepat ini! Gua sayang sama Vini!
“Tante... serius?” suara Oshi melemah.
Mama Vini mengangguk lemah. Lagi-lagi air mata menetes dari pelupuk matanya. “Tante gak percaya sama semua ini, ini seperti mimpi,”
Lintang berlari meninggalkan ruang tunggu tanpa berpamitan. Entah, rasanya ia ingin mati dan menghilang dari kenyataan pahit itu sekarang juga.
“Lintang!” Oshi hendak berlari mengejar Lintang, tapi Mama Vini menahannya.
Setibanya Lintang di taman rumah sakit, dia melihat Vini sedang duduk. Bukankah tadi dia tertidur? Batinnya.
“Vin...” panggil Lintang pelan.
Vini menoleh tanpa ekspresi. “Udah gua bilang lu gak usah peduli lagi sama gua,”
“Gua minta maaf ya Vin. Maaf banget selama ini gua selalu cuek sama lu. Tapi jujur, selama ini perasaan gua gak pernah berubah sama lu. Dari kita kecil dulu sampai detik ini gua masih dan selalu sayang sama lu,”
“Terus niat lu cuek sama gua apa? Niat lu cari cewek lain apa?”
“Karena gua pingin liat lu cemburu dan sakit sama seperti apa yang pernah gua rasa waktu SMP dulu, gua minta maaf banget ya,”
“Ya terserah deh apa mau lu bilang. Toh umur dan nyawa gua gak lama lagi,”
“Nyokap lu udah cerita semuanya. Lu gak boleh nyerah Vin! Gak boleh, lu harus semangat!”
“Percuma. Gimana perasaan lu kalau lu tau ternyata umur lu tinggal sebulan lagi hah? Gimana kalau lu tau ternyata penyakit yang lu derita belum ditemukan obatnya?” Vini membentak dalam tangis.
Tak lama kemudian dia batuk dan mengeluarkan muntah darah. Darah segar juga keluar dari hidungnya. Mukanya mulai pucat dan..... dia pingsan.
Lintang terkejut. Segera dia menggendong Vini menuju kamar rawatnya.
***
“Pagi Vini sayang...” sapa Lintang ramah sambil membawakan bubur hangat khusus dibuatkan olehnya untuk Vini.
Vini tersenyum menyambut kedatangan Lintang.
“Asik kamu udah senyum, berarti udah maafin aku dong?” tebak Lintang asal.
“Ya... gitu deh. Kok lu jadi ngomong aku kamu lagi?” Vini bingung.
“Kan kemarin aku gendong kamu kayak pengantin, jadi aku ingat masa kecil kita. Ya udah sekarang kita beraku-kamu aja ya,”
“Oh ya? Berarti utang gendong aku udah lunas ya?”
“Belum dong. Kan kitanya belum nikah,” canda Lintang.
Vini tertawa renyah. “Eh Lin, ke taman yuk,”
“Tapi kamu sambil sarapan ya?”
Vini mengangguk.
Lintang membawa Vini ke taman dengan kursi roda. “Udara pagi sejuk ya,”
“Iya, aku suka banget. Aku jadi ingat dulu Lin, setiap pagi kita selalu keliling komplek sambil main sepeda,”
“Iya kamu kan aku bonceng. Kalau jatuh kita jatuh sama-sama,” Lintang tersenyum.
“Iya ya, jadi kepikiran tau. Aku kangen masa lalu. Coba kalau aku gak punya penyakit ini,”
Lintang terkejut. Padahal dia sangat berharap Vini lupa akan penyakitnya. Dia ingin mengenang semua masa lalunya bersama Vini di sisa umur Vini yang tersisa.
“Lin, kalau waktu aku pergi tinggal beberapa jam lagi gimana?”
“Vini! Aku gak suka ya kamu ngomongnya gitu. Kamu gak boleh nyerah sama penyakit kamu, kamu kan kuat Vin!”
“Iya, tapi terkadang aku merasa...”
“Aku sayang kamu Vin. Kamu mau kan jadi pacar aku?”
Vini terkejut. “Kamu kenapa sih? Umur aku gak lama lagi Lintang,”
“Justru itu, kasih aku kesempatan untuk menjaga kamu. Kalau perlu kita tunangan, biar kamu percaya sama rasa sayang aku,”
Vini menggeleng. “Aku gak mau. Aku gak mau liat kamu sendri saat aku pergi nanti,”
“Aku gak akan sendiri karena kamu ,,,selalu di hati aku,” ujar Lintang gombal.
“Haha bisa aja kamu. Udah deh kita jadi teman aja,”
“Vini, ayo lah. Kalau kita gak bisa nikah, seenggaknya kita bisa pacaran atau tunangan gitu,”
Vini terdiam. Berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk.
“Yeeee makasih ya Viniku sayang, aku janji bakalan jaga kamu baik-baik,” Lintang memeluk Vini erat.
“Iya sama-sama,” ucap Vini sambil memeluk Lintang tak kalah erat. Tapi semakin lama pelukannya semakin melemah sampai akhirnya Vini menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Lintang, pacarnya.
Lintang terkejut. Dia melepaskan pelukannya dan menatap Vini. “Viniiiiiii!!!” Lintang menjerit. Gua senang, lu pergi dalam pelukan gua dan udah resmi jadi pacar gua. Baik-baik ya lu di sana... batin Lintang menahan tangis.

You Might Also Like

0 komentar

Tell me what do you want to tell :)