Persinggahan; Aku Bukan Tempat Pulang
Hujan itu… sepertiganya hanyalah air yang
jatuh, sedangkan duapertiganya adalah kenangan yang bertumbuh.
Hujan itu… seperlimanya hanyalah dingin
cuaca, sedangkan empatperlimanya adalah kerinduan untuk bisa bersama.
(Menghitung
Hujan by @zenitsia)
Hujan lagi-lagi
mengguyur tanah pagi yang masih basah sisa hujan semalam. Hujan lagi-lagi
memberikan efek sendu di otakku, seakan sudah ter-setting bahwa jika hujan datang, otakku sudah tidak lagi mengingat
hal lain selain dia.
Ah,
lagi-lagi dia. Kenapa masih enggan pergi dari pikiranku? Padahal, undangan pun
sudah disebar sejak seminggu lalu, ya?
Kau tahu,
tidak, rasanya jadi tempat singgah? Jika tidak, biar sini kuceritakan. Kisah
tentang seseorang yang sudah kutunggu sejak lama. Tentang seseorang yang kuharapkan
bisa menjadi orang terakhir yang menemani sisa hidupku. Tentang seseorang yang
ternyata hanya menjadikanku tempat persinggahan. Bukan tempat pulang.
Dia teman
satu SMA-ku. Kami bukan sahabat yang terkena friendzone. Kami murni dua orang yang tidak saling kenal karena
kelas kami berbeda. Namun aku jelas selalu memerhatikannya dari jauh. Dari awal
masuk sekolah hingga kami lulus, aku benar-benar tidak bisa mengobrol dengannya.
Bahkan tegur sapa sekali pun. Kau tentu tahu, sulit bagi seorang cewek untuk
memulai perkenalan, apalagi obrolan.
Minggu demi
minggu berjalan seperti biasa. Aku mulai merindukan sosok tinggi-berisi itu
setelah lulus. Sosok yang selalu kuperhatikan saat sebelum masuk kelas, saat
istirahat, dan saat jam mata pelajaran berakhir. Maka yang bisa kulakukan saat
merindukannya adalah membuka buku memori angkatan kami.
Waktu ospek
sudah tiba. Kau tahu? Dia kini ada di hadapanku. Dia mengenakan pakaian dan
atribut sama sepertiku. Ternyata, dia masuk jurusan dan universitas yang sama denganku.
Tentu kau tau bagaimana perasaanku saat itu, bukan? Tepat. Aku sangat bahagia!
Tapi,
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah masuk kuliah,
dia sudah menggandeng seorang cewek seangkatan kami yang beda jurusan. Ah, itu
patah hati pertama yang kurasakan. Rasanya lebih pedih dari irisan pisau di
tangan. Tentu saja kau tahu, tidak ada obat yang benar-benar bisa menyembuhkan
luka di hati.
Di akhir
semester dua, gosip dia putus dengan pacarnya mulai menyebar. Ternyata itu
bukan gosip. Dia memang benar-benar putus entah dengan alasan apa aku tak
peduli. Yang jelas, meskipun aku tidak punya kesempatan, aku tidak terlalu
sakit hati melihatnya jalan dengan cewek lain.
Tapi yang
harus kau tahu lagi, tidak butuh waktu lama baginya untuk bisa dekat—bahkan
akhirnya jadian—dengan orang baru. Selama masa kuliah hingga tingkat tiga, dia
sudah menggandeng 3 orang cewek. Aku mulai terbiasa dengan sikapnya—ya mungkin
bisa disebut playboy.
Hingga di
semester tujuh, entah bagaimana semuanya berawal, kami bisa dekat. Padahal
sebelumnya dia baru saja putus dengan pacar keempatnya. Banyak gosip beredar
bahwa akulah gadis pengganggu hubungan orang. Tapi dia seakan membantuku
menutup telinga untuk tidak peduli dengan omongan orang.
Kau tahu
salah satu hal paling bahagia di masa kuliahku apa? Itu saat akhirnya, dia
mengutarakan perasaannya padaku. Antara bingung, terkejut, bahagia, semua
bercampur jadi satu. Dia, orang yang sudah kutunggu sejak lama, akhirnya bisa
menjadi nyata.
Tapi yang
tidak pernah terpikirkan olehku saat itu, kenapa dia mau denganku? Kenapa dia
tiba-tiba mengutarakan perasaannya padaku? Kenapa tidak butuh waktu lama hingga
akhirnya kami bisa bersama? Jawabannya, karena aku mudah untuk dijadikan
persinggahan.
Ah iya. Aku
lupa menceritakan kisah hujan padamu, ya? Jadi begini. Biarpun dia kejam—mudah
berpindah dari hati satu ke hati lainnya—tapi harus kuakui sikapnya memang
dewasa. Saat itu hujan besar. Kami hendak pulang tapi hanya aku yang membawa
payung. Sedangkan jarak dari gedung ke parkiran cukup jauh. Akhirnya, dia
langsung menggendongku di punggungnya sementara aku memegang payung. Dia tidak
peduli beberapa orang memerhatikan kami, dia tidak peduli menanggung berat
tubuhku, yang penting kami aman dari hujan. Dan setibanya di dalam mobil, dia
langsung melepas jaketnya untuk dipakaikan di tubuhku.
Ah, aku
tidak mampu menahan tangis jika ingat momen itu.
Hingga
akhirnya, secepat kami meresmikan hubungan, secepat itu pula dia memutuskannya.
Dia mengakui perasaannya padaku hanya sementara. Dan ketika mantannya meminta
untuk kembali, dia dengan mudahnya meninggalkanku. Memang, sesuatu yang baru
terlihat lebih menarik. Tapi mungkin tidak mudah menggantikan yang lama.
Karena kau harus tahu, peran orang yang sudah lama di hati memang tidak mudah terganti.
Maka dari
itu aku tidak bisa menahannya ketika ia memutuskan untuk kembali ke pelukan
orang di masa lalu. Seharusnya aku sadar sejak awal bahwa ia takkan pernah bisa
berpaling lama dari masa lalunya. Entah, ini patah hati keberapa yang
kurasakan. Tapi rasanya lebih kejam, lebih sakit, lebih perih, lebih tidak
terdeskripsikan dibanding semua patah hati di awal.
Aku
berkali-kali menggigit bibir bawah, berusaha menahan tetes air yang keluar
dari sudut mata. Tapi rasanya terlalu percuma. Pada akhirnya tetes itu pun
jatuh juga. Jadi aku hanya menikmati tetes demi tetes hujan di luar sana dan
hujan dari dalam hati.
Jika kau
bertanya bagaimana aku sekarang, aku hanya bisa membiarkan dia memilih jalan
hidupnya sendiri. Aku tidak bisa memaksanya untuk bertahan jika ia ingin pergi.
Aku berusaha mengalah walau sebenarnya, sisi egoisku terlalu tinggi untuk tetap
ingin memilikinya.
Berkorban menahan luka demi bisa melihat orang yang dicintai bahagia? Itu terlalu munafik, kau tahu?
Tapi jika
hanya itu satu-satunya pilihan yang kupunya, maka aku akan melakukannya. Bukan
karena aku ingin berkorban, tapi karena aku tak ingin memaksakan hatinya
bertahan dengan orang yang tidak layak dipertahankan.
Terima kasih
sudah menjadikanku persinggahan. Kelak, akan ada seseorang yang sanggup
menjadikanku tempat pulang.
Tentu saja
itu bukan lagi dia. Tapi, seseorang yang sangat jauh lebih berharga.
4 komentar
Patah hatinya seorang pemuja rahasia itu, pedihnya unik dibanding yang lain :)
ReplyDeleteIya bener. Pedih banget...
DeleteHuaaaa kak Dwi, bikin baper tauuuu :(
ReplyDeleteIya aku tau kok kak gimana rasanya jadi persinggahan, itu sakit banget :(
Bahkan ketika tau bahwa dia masih hidup dengan masa lalunya. Perih banget :'(
Keren kak ini ceritanya, kayak kisah nyata. Jangan-jangan ini kisah nyata ya kak :P hihihhi
Haaiii ini anak dateng-dateng langsung baper aja :(
DeleteTapi percaya aja kalo nanti akan ada orang yang jadiin kamu tempat pulang, Fat :)
Haha, isn't my life story. Cuma terinspirasi dari lagu aja kok.
Tell me what do you want to tell :)