[Cerpen] Dio dan Keli

www.igre123.com


Dio
Gue berjalan menyusuri bangsal rumah sakit. Wangi obat berpadu jeritan tangis pasien membuat bulu kuduk merinding. Koridor belok. Suasana mendadak hening. Mata gue menjalar memandangi satu per satu nomor kamar yang sudah ditunjukkan petugas di resepsionis. Ritme degup jantung gue mengencang ketika langkah kaki mulai mendekati nomor kamar yang mau gue tuju. 153, 154, 155, 156, 157, dan berhenti. Gue berhenti di depan kamar bernomor 157. Mata gue mendapati sandal yang tak asing lagi. Sandal rumah bergambar beruang warna putih favorit Keli.


“Assalamualaikum,” gue mengucap salam sambil membuka pintu.

Bunda dan Ayah menoleh ke pintu. Raut sedih dan kecewa tergambar jelas di wajah mereka. Meskipun Ayah berusaha menyembunyikan dengan mengurai senyum waktu gue datang, tapi semburat itu tak bisa disembunyikan.

Bunda langsung menghampiri gue dan mendekap tubuh anaknya yang sepuluh senti lebih tinggi darinya. “Tiny mana? Kamu sama siapa?” Bunda mencari keberadaan pacar gue.

“Dia nggak ikut, Bun. Aku ke sini sendiri. Tadi dia mau ikut tapi aku larang karena takut dia gak kuat.”

 “Kamu landing jam berapa?” Tanya Ayah dengan suara beratnya.

Gue berjalan mendekati Ayah dan mencium tangannya. “Jam sebelas Yah.”

“Udah makan?”

 “Udah tadi aku makan dulu di rumah Tiny.”

Hening.

“Keli gimana kondisinya?” gue memandang tubuh adik gue terkapar lemah menutup mata. Lubang hidungnya dimasuki selang oksigen. Kepalanya diperban dan beberapa bekas luka masih membekas darahnya. Mungkin belum ganti perban. Jarum infusan meruyup ke kulit di tangan kanannya. Denyit suara elektrokardiogram mengganggu pendengaran gue. Entah kenapa ini terasa menyebalkan dan menyakitkan.

Gue duduk di kursi samping tempat tidur Keli. Tangan gue perlahan menggenggam jemarinya. “Kel, bangun yuk. Abang udah dateng nih mau ngajak kamu jalan-jalan. Maaf ya, Abang nggak sempet ngajak kamu jalan-jalan sebelum pergi ke Jepang.”

“Dio, jangan ngerasa bersalah gitu. Keli masih kecapekan mungkin makanya belum mau buka mata.” Bunda mengelus bahu gue.

Dan, gue mencoba tetap positif.

***

Keli
            Aku merasakan seseorang menyentuh jemariku. Rasanya hangat dan menenangkan. Tapi entah kenapa aku masih sulit membuka mata. Rasanya aku ingin istirahat cukup lama tanpa diganggu siapa pun. Tapi, aku merindukan Bunda, Ayah, juga Bang Dio. Ah, mereka di mana? Kenapa mereka tidak hadir di dunia gelapku?

***

Mataku perlahan terbuka. Cahaya menyilaukan di ruangan membuat dahiku mengernyit. Tiga wajah samar-samar menyambutku dengan senyuman mereka masing-masing. Di samping kanan ada wanita yang umurnya sudah menginjak akhir empat puluhan tetapi masih tetap segar. Ya meskipun aku melihat raut itu sedih dan cemas. Tapi aku yakin dia Bunda. Di sampingnya ada lelaki yang warna rambutnya sudah mulai memutih. Tapi postur tegap dan gagah itu masih melekat padanya. Pasti Ayah. Orang terakhir ada di samping kiriku. Wajahnya tampan. Rambutnya dipotong model cepak. Senyumnya menawan dengan sorot mata memikat. Aku menatapnya cukup lama. Tangannya menggenggam jemariku tulus.

***

Dio
“Bun!” gue berseru mengagetkan ketika jemari Keli perlahan-lahan mulai bergerak. Gue berdiri di sampingnya sambil menggenggam jemari itu kuat-kuat. “Ayo bangun, Kel. Abang di sini.”

Bunda dan Ayah mendekat, memperhatikan kemajuan kondisi Keli hari ini. Tepat hari kesepuluh setelah Keli dirawat di sini.

Setelah jemarinya bergerak, kondisi baik itu kini menjalar ke wajahnya. Matanya perlahan membuka. Meskipun masih kesulitan, tapi dia berusaha untuk bisa menatap kami. Wajah pertama yang ditatapnya adalah Bunda, lalu bergulir ke Ayah dan terakhir ke gue. Waktu dia menatap gue, dahinya tiba-tiba mengernyit. Dia menatap gue cukup lama.

“Dia siapa?” pandangannya dialihkan pada Bunda dan Ayah.

Suara elektrokardiogram itu berdenyit lama, mendenging dan memekakkan telinga. Rasanya seperti jantung gue yang berhenti berdetak.

“Ini Bang Dio, Keli. Kamu inget kan?”

“Bang Dio?” jawabnya lemas. Bola matanya terarah ke atas, seperti mencoba mengingat-ingat gue. Beberapa detik kemudian, gelengan kepalanya membuat gue bener-bener hancur dan terluka. Bunda dan Ayah mematung di tempatnya. Semua menjadi hening.

***

Ini hari kelima pemulihan. Gue membawa Keli berkeliling taman rumah sakit dengan kursi roda. Gue mencoba membantu Keli untuk mengingat kenangan lama bareng gue.

Kakak mana yang gak sedih ketika adik kesayangannya lupa akan dirinya? Gimana bisa, sebuah kecelakaan itu bisa merenggut ingatan Keli tentang gue? Hanya tentang gue.

“Abang.” Keli memanggil.

“Iya?” gue menatapnya. Tepat saat kursi rodanya berhenti dan gue duduk di bangku batu.

“Kalo kamu iya abangku, coba sebutin kesukaan aku apa.”

Pandangan gue menerawang. Gue mendadak inget tentang suatu kejadian dulu banget, waktu Keli masih berumur 8 tahun. Gue empat tahun lebih tua dari dia.

Gue berjalan menuju kantin sekolah dengan niat menjemput Keli dulu untuk istirahat bareng. Tapi gue shock waktu liat dia diganggu temen sekelasnya yang terkenal bandel. Anak itu mencolek dagu Keli dan terlihat ekspresi ketakutan di raut wajah adik gue. Dengan emosi memuncak, gue berlari ke arah mereka dan segera mendorong anak itu sekuat tenaga. Dia sempuyungan dan jatuh. Untungnya tidak sampai luka.

“Kalo lo berani gangguin adek  gue lagi, lo berurusan sama gue!” gue langsung mendekat Keli yang ketakutan dan membawanya pergi.

“Abang, makasih ya udah nolongin Keli. Kalo Abang nggak dateng, mungkin dia bakal terus gangguin Keli.”

“Itu alasannya kenapa Abang dilahirin duluan. Agar bisa ngelindungin kamu. Udah, kamu mau pesen apa sekarang?”

Air mata gue nyaris menetes. Tapi, gue pantang buat nangis. Sekalipun masalahnya karena “kehilangan” adik yang gue sayang, gue berusaha buat kuat. Karena gue tau, suatu hari ingatan dia pasti kembali. Gue yakin dan percaya itu. Gue akan berusaha membantunya.

“Abang.”

“Eh, iya Keli. Kesukaan kamu Abang tau dong. Kamu paling suka makan es krim kalo lagi badmood. Meksipun Bunda ngelarang, tapi Abang diem-diem suka beliin kamu juga.” Gue terkekeh dengan hati miris.

Keli memperhatikan.

“Terus waktu kamu SMP, kamu paling sering tidur di ruang keluarga nunggu Bunda sama Ayah pulang kerja karena takut tidur di kamar. Akhirnya Abang juga yang mindahin kamu ke kamar. Terus kamu paling suka Abang ajak main ke taman bermain. Karena kamu bilang, cara ngilangin stress itu dengan teriak-teriak. Dan yang paling kamu suka, suasana kamar dan semua yang berbau warna toska. Bener, kan?”

Keli terdiam. Lalu ia mengangguk yakin. “Kok kamu tau, ya.” Ujarnya lebih pada gumaman. “Coba, hal yang paling bikin aku sedih seumur hidup apa?” lanjutnya.

Gue terdiam beberapa jenak. “Dua hal yang paling bikin kamu sedih sekaligus nangis banget sampai detik ini. Pertama, waktu kamu ditinggal Ayah sama Bunda pergi ke haji 4 tahun lalu. Kamu lagi sibuk sama try out di sekolah karena mau ujian, Abang juga lagi fokus nyusun skripsi. Pusingnya kebangetan deh ngurusin kamu yang tiap hari nangis karena kangen Ayah sama Bunda. Apalagi kita jarang banget ditengokin sodara-sodara. Ya Abang waktu itu bener-bener ngurusin kamu sendiri, Kel.” Gue menghela napas.

“Dan yang kedua, waktu Abang dipindahtugaskan ke Jepang. Di bandara, kamu meluk Abang lamaaaa banget. Kamu nangis lagi nangis lagi karena nggak mau ditinggal Abang selama tiga tahun. Padahal, Kak Tiny pun gak sesedih itu.” Gue terdiam sejenak, membuat jeda hening. “Tapi, saat tugas Abang tinggal setahun lagi, kamu malah hilang ingatan.” Lanjut gue sedih.

Keli tak menjawab. Dia hanya menatap gue iba.

***

Keli
Bang Dio bercerita dengan serius. Sesekali dia tersenyum, tapi di lain kesempatan wajahnya mendadak sayu. Dari ceritanya, terlihat jelas dia sangat menyayangiku. Dan aku pun terlihat sangat membutuhkannya. Tapi, kenapa aku bisa melupakan kenangan dengannya semudah itu? Jika aku bisa memilih, aku lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan ingatan seperti ini. Aku tidak bisa melihat seseorang sedih karenaku, sedangkan aku bisa melihat kesedihannya dengan jelas.

“Kel, balik ke kamar yuk?” Bang Dio bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang.

Aku menangguk tanpa banyak berbicara.

***

Sudah dua minggu lalu aku menjalani rawat jalan dan dibolehkan pulang. Ketika pertama menginjakkan kaki di rumah, suasana rindu langsung menyergapku. Lagi-lagi, Bang Dio yang mendorong kursi rodaku hingga tiba di kamar.

“Kamu inget sesuatu tentang Abang nggak, di sini?”

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Wallpaper toska bermotif kupu-kupu menghiasi seluruh dinding kamar. Meja belajar, laptop, lemari, kasur berukuran sedang dengan sprei dan bed cover warna toska, serta rak buku yang dipenuhi novel-novel terjemahan maupun lokal memenuhi dinding.

Sebuah bayangan seseorang muncul dalam benakku. Dia menemaniku bermain di atas kasur. Melompat-lompat hingga kami tertawa kegirangan. Dalam bayanganku, potongan rambutnya pendek tapi berponi samping kanan. Suaranya mirip Bang Dio. Tapi, aku tidak bisa memastikan jelas wajahnya. Kepalaku mendadak sakit.

“Kamu kenapa, Kel?”

“Kepalaku sakit, Bang.”

Bang Dio tersenyum. “Kamu jangan maksain kalo belum bisa inget. Nggak papa, nanti ada waktunya ingatan kamu sembuh kok. Percaya deh.” Dia mengelus kepalaku. “Sekarang kamu tidur ya. Istirahat. Kalo ada apa-apa, kamu tinggal pijit nomor 1 dari telepon rumah ini.” Bang Dio menunjukkan telepon rumah model dulu yang terpajang di meja samping tempat tidurku.

“Iya, Bang.”

Bang Dio langsung menggendongku turun dari kursi roda dan menaruh di tempat tidur. Dia menarik selimut hingga leher. “Selamat istirahat,” ujarnya. Lalu ia melangkahkan kaki keluar dari kamar. Terdengar suara pintu tertutup.

Seperginya Bang Dio dari kamar, air mataku tiba-tiba menetes. “Maafin aku, Bang.”

***

Dio
Gue mendesah. Nyaris tiga minggu setelah Keli sadar dari tidurnya, ingatan gadis itu belum juga pulih. Ini bener-bener nyakitin. Gue udah berusaha ngingetin dia dengan cerita-cerita masa lalu. Juga udah bawa dia ke tempat-tempat yang mungkin aja dia inget. Tapi, bahkan untuk inget gue kakaknya aja, dia belum bisa.

“Dio…,” suara lembut Bunda mengejutkan.

“Eh, Bunda. Ada apa?” gue menoleh pada Bunda yang sedang berjalan dari ujung tangga ke lorong kamar.

“Kamu udah tiga minggu nggak kerja, nggak papa emang?”

“Aku ngambil cuti besar, Bun.”

“Loh, kok?” Bunda terkejut.

“Nggak papa. Aku ngambil cuti dua bulan. Ya paling nanti jatah cuti besarku dipotong dua bulan.” Gue terkekeh. “Aku mau ngeliat perkembangan kondisi Keli, Bun. Aku mau, sebelum kerja, dia udah inget aku.”

Bunda mengelus-elus bahu gue. “Bunda nggak tau kalo kejadiannya bakal kayak gini, Bang.”

Gue terdiam beberapa saat. “Ternyata, kehilangan yang menyakitkan itu bukan hanya saat kita kehilangan seseorang buat selamanya ya, Bun. Tapi juga saat kita kehilangan sosok orang yang sebenernya masih hidup, masih selalu di samping kita, tapi nggak inget tentang kita. Apalagi itu orang kesayangan.”

Mata Bunda mendadak sayu. Tangannya tiba-tiba direnggangkan dan memeluk gue. Dia mengelus-elus punggung gue. Air mata yang gue usahain buat ditahan, akhirnya menetes saat ini di pelukan Bunda.

“Kalo kamu yakin dia sembuh, dia pasti sembuh. Kita bantu sama-sama, ya.”

“Iya, Bun.”

***

Keli
Air mataku masih menetes. Obrolan Bang Dio dan Bunda terdengar jelas di telingaku. Andai aja aku bisa menghindari kecelakaan itu. Andai aja aku nurutin kata Bunda buat ikut ke rumah nenek. Andai aja Bimo nggak minta putus waktu itu. Andai, andai, andai. Andai kecelakaan ini nggak terjadi sama aku.

Andai aja Bang Dio tau, bukan cuma Bang Dio yang sedih kehilanganku. Aku pun sedih karena harus kehilangan ingatan. Buatku, hal yang paling nyakitin itu adalah saat aku harus kehilangan kenangan bersama orang tercinta. Karena orang yang paling nggak beruntung di dunia ini adalah orang yang gak bisa inget sama kenangannya sendiri.

“Bukan cuma Bang Dio yang sedih kehilangan aku, aku pun sedih kehilangan Bang Dio.” Ujarku dengan bibir terkokol. “Jangan nyerah ya, Bang…,” aku mencoba menutup mata.

***
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Best Article Blogger Energy~"


With love,

You Might Also Like

4 komentar

  1. btw, header blognya baru yaa kak, aku baru tahu nih. pasti pesen di bang Tofik yaa hehe.

    aku baca cerpen ini modelnya persis sekali sama novel Melbourne karyanya kak Winna Efendi. pernah baca kak? jadi tulisannya itu memang diceritakan dari dua sudut pandang orang yang berbeda. yaa seperti cerita diatas, diceritakan dari sudut pandang Dio dan Keli. dan tulisan kamu bener-bener bagus Kak.

    ternyata aku baru tahu kalo kehilangan itu nggak melulu soal cinta ataupun objek kesayangan. tapi justru kehilangan ingatan dan kenangan lah yang malah bikin nyesek. apalagi kalau orangnya masih ada dan ingatan tentang orang tersebut sudah hilang, pasti makin nyesek banget seperti cerpen diatas.

    keren kak, good luck yaa buat best article nya. aku yakin bakalan menang nih hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kok kamu tau? Hihi suka sih pink banget kesannya.

      Aduh yang Melbourne belum pernah baca, pernahnya yang Remember When. Itu juga sama beberapa sudut pandang kok. Iya makasih Rey :D

      Iya, pernah ngebayangin gak sih kalo kita kehilangan kenangan dan kayak orang bego nggak tau apa-apa? Aduh naudzubillah jangan sampe :(

      Delete
  2. ceritanya mengharukan sekali,kasian ya dio,udah berusaha supaya adiknya inget sama dia tapi hasilnya nihil,keli tetap gak ingat sama dio.semoga dio diberi ketabahan.Amin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kasian banget, pasti sedih. Semoga aja :"

      Delete

Tell me what do you want to tell :)