Love Is Complicated

Guys, ini cerpen gue yang pernah gue ikutin lomba. Tapi berhubung gue kalah, mending gue post blog aja deh ya. Siapa tau ada penerbit yang baca blog gue terus nawarin biar cerpen gue diterbitin ahaha ngarep.

Mungkin memang cerpennya kurang bagus juga kali ya, jadi cerpen gue kalah. Tapi gue gak mau nyerah, selama ada kesempatan buat nyoba, why not? ;)

Aduh bacot mulu ya, yudah ini gue kasih cerpennya. Enjoy guys ;)



Love Is Complicated



“Jadi pacar gue ya?”

“Apaan sih lo. Udah deh gak usah bercanda, kita tengok Rinda aja yuk sekarang,” aku menarik tangan Ibal.

“Trisa, gue serius mau jadi pacar lo. Tunggu dulu,” Ibal menarik lenganku untuk kembali duduk.

“Ibal, lo kan udah punya Rinda. Gak lucu tau, udah ah ayo cepat!”

“Ya kita backstreet aja, gue yakin kok lu juga suka kan sama gue?”

Aku terdiam. Entah, apa yang harus aku katakan. Aku memang menyukai Ibal lebih dulu dibanding Rinda. Tapi sekarang nyatanya Ibal telah menjadi milik Rinda—sahabatku sendiri. Tapi, aku juga tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa aku masih menyayangi Ibal. Dia itu adalah pacar pertamaku.

“Sa, jawab kek pertanyaan gue. Lu mau kan?”

“Gue gak mau bikin hati Rinda sakit, maaf,” aku pergi meninggalkan Ibal.

Ibal mengejarku dan tiba-tiba dia memelukku dari belakang. “Lo gak usah bohong sama perasaan lo sendiri ya,”

“Bal, lepas dong Bal. Nanti ada yang liat tau,” aku berusaha melepaskan pelukannya karena aku takut ada yang melihatku di toko es krim itu.

“Gak,”

“Bal,” aku melepaskan pelukannya sekuat tenaga. “Gue gak mau bikin hati sahabat gue sakit. Gue gak mau jadi teman makan teman Bal please ngerti!”

Ibal terdiam. Dia menatapku lekat-lekat. Ya Tuhan, gue gak mampu sama tatapannya seperti ini....

“Salahnya gue Sa, harusnya gue ungkapin perasaan gue ini dari dulu sama lu. Tapi sekarang gue terlanjur sayang juga sama Rinda,”

“Ya udah kalau gitu lu lanjut aja hubungan lu sama dia. Gue gak mau jadi penghancur hubungan lu sama dia. Permisi,” aku pergi dengan perasaan tak tentu.

“Sa,” lagi-lagi Ibal mencegatku. “Lu mau menyesal seumur hidup?”

Aku terdiam. Aku tak mampu menahan tangis. Ya Tuhan perasaan apalagi ini? Posisiku kini sangat serba salah. Aku tak ingin merelakan Ibal, tapi di sisi lain aku juga tak ingin menyakiti hati sahabatku sendiri..

“Oke kalau lu gak bisa terima,” Ibal menyerah.

“Bal,” kini giliranku yang mengejar Ibal.

Ibal terus berjalan menyusuri tempat parkir. Dan tepat saat dia akan masuk, aku berhasil menahannya. “Bal maaf,”

“Kenapa lagi?”

“Lo bisa pilih salah satu dari gue dan Rinda kan?”

Ibal terdiam. Baginya ini adalah pilihan yang sangat sulit. Dua gadis yang sangat disayanginya, dia tak bisa memilih salah satu di antara keduanya.

“Kalau lo bisa pilih satu, oke gue bisa terima lo. Gue tau ini beresiko, tapi biarlah gue yang ambil resiko itu. Gue sayang sama lo,”

“Gue juga akan mengambil resiko itu,” Ibal tersenyum kepadaku.

***

Sore itu juga aku segera bergegas ke Rumah Sakit untuk menjenguk Rinda. Untungnya di sana telah ada Yesi—sahabatku juga yang setia menemani Rinda.

“Lo kenapa Sa? Kayak yang panik gitu deh,” tanya Rinda bingung.

“Besok Rinda udah boleh pulang,” ujar Yesi senang.

“Oh ya? Syukur deh,” Ibal tersenyum sambil mengelus kepala Rinda.

Agak sakit aku melihatnya, tapi bagaimana pun aku tau Ibal menyayangi Rinda.

“Terus nyokap bokap lu udah tau Rin?”

Rinda menggeleng.

“Ya udah gue telepon dulu ya,” aku permisi beranjak keluar kamar. Jujur, sebenarnya aku ingin menghindar dari Rinda dan Ibal.

Ibal berlari menyusulku pergi yang membuat Rinda dan Yesi sangat penasaran.

Aku menghapus air mataku. “Gak usah susul gue please. Gue gak mau Rinda dan Yesi curiga. Udah lo balik deh,”

“Tapi,”

Aku menatapnya tajam seakan memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja.

“Lo jadian sama Ibal?” tanya Yesi tiba-tiba di sebelahku.

“Hah?” aku terkejut.

***

Seminggu setelah kepulangan Rinda dari Rumah Sakit, aku mulai takut akan hubunganku dengan Ibal diketahui Rinda. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengikuti acara main ataupun kumpulan bersama Rinda, Yesi dan Ibal untuk menghindar sementara.

“Sa lu kenapa sih?” tanya James—kakakku.

“Enggak, gue lagi merenung aja,” jawabku berbohong.

James menatapku lekat. Dia selalu tau jika aku berbohong.

“Lu yakin gak ada masalah?”

“Menurut lu gimana sih Kak kalau kita rebut pacar sahabat sendiri?”

“Hah? Lu gila kali ya! Lu gak punya perasaan banget sih Sa. Siapa yang ngajarin lu kayak gitu?”

“Kak, gue cuma nanya. Lagian, kalau kita punya rasa gimana? Cinta kan gak bisa dibohongi,” ujarku lemah dan berusaha membela diri.

“Udah deh, mending lu jauhi pacar sahabat lu itu. Jangan bikin malu keluarga Sa!” James pergi tanpa menatap lagi ke arahku sedikitpun.

Aku merenung sendirian dalam tangis. Sore itu, udara mengalir lembut ke dalam kamarku. Tapi tetap saja, saat itu aku benar-benar dilema. Menurutku, di umurku yang masih 16 tahun ini, aku masih terlalu muda untuk mengenal cinta yang serumit ini. Harusnya aku menikmati masa remajaku
seindah mungkin, bukannya malah menghadapi cinta yang rumit ini.

***

“Hai sayang,” sapa Ibal padaku. Aku sangat terkejut mendengar Ibal menyapaku dengan sebutan ‘sayang’. Bukannya aku tak mau, tapi aku harus menyembunyikan hubunganku dengan Ibal untuk sementara waktu sampai Ibal menentukan gadis yang pas di hatinya.

“Bal, please jangan panggil gue sayang. Lu ngerti dong,”

“Oh iya lupa. Ya udah yuk ke kelas,” Ibal menarik lenganku. Tapi dengan segera aku melepaskannya. Ibal menatapku, aku hanya tersenyum.

Aku melihat seseorang dibalik tembok perpustakaan, dan sepertinya aku mengenalinya. Ya Tuhan............

***

Hari ini adalah hari yang telah aku tunggu. Ya, hari ini adalah hari anniversary-ku dengan Ibal satu bulan. Rasanya berat sekali backkstreet selama ini. Rencananya, hari ini aku akan berjalan bersama Ibal dan mengakui hubunganku ini pada Rinda. Aku sudah sangat cemas. Tapi aku sudah siap dengan resiko terburuk yang akan aku terima.

“Yuk, udah siap?” tanya Ibal dengan senyumnya yang menenangkanku.

Aku mengangguk tanda mengiyakan.

Malam itu adalah malam yang sangat istimewa. Aku baru tahu ternyata Ibal romantis sekali. Dia membuat surprise candle light dinner di taman belakang rumah sepupunya. Tamannya Indah, kolam renang di sana membuatku merasa semakin tenang. Tapi semua ketenangan itu hilang saat aku dan Ibal tiba di rumah Rinda. Kebetulan, Yesi juga sedang di sana.

Aku melangkah ragu menuju teras rumahnya.

“Lo gak boleh takut. Kita ambil resikonya sama-sama ya,”

“Iya. Kalau pun gue harus dibenci Rinda selamanya.... ataupun kehilangan lo,”
Ibal sempat memegang lenganku erat seakan menguatkan aku. Aku semakin tak kuasa untuk masuk ke dalam rumah. Tapi bagaimanapun itu harus tetap kulakukan.

Rinda dan Yesi sedang duduk bersantai di dalam. Entah, aku mempunyai feeling yang buruk saat ini.

“Hai Rin,” sapaku pada Rinda.

“Gak usah sok cari muka deh penghianat!”

Aku terkejut. Ibal menatapku bingung. Yesi pun ikut-ikutan terkejut.

“A.... apa maksud lo Rin?”

“Gue salah apa sama lo Sa? Kalau gue punya salah lo bilang! Gak usah nusuk gue dari belakang!”

Hatiku terenyak mendengar ucapan Rinda barusan. Tiba-tiba dadaku sesak. Nafasku tak beraturan. Tapi aku berusaha untuk mencoba tetap tenang.

“Gue.....” aku bingung, apa yang harus kukatakan.

“Gue suka sama dia Rin,” ucapan itu mengalir lancar dari mulut Ibal.

“Dugaan gue tepat! Gue mulai curiga saat lo dan Trisa datang ke Rumah Sakit bareng, dan ternyata kecurigaan gue semakin kuat saat lo dan Trisa pegangan tangan di sekolah,” ujar Yesi.

“Kalian berdua penghianat!” Rinda menghampiriku dan Ibal yang masih tegang.

“Rin, gue..... gue gak maksud apa-apa, gue cu...”

“Cuma apa? Cuma mau khianati gue? Mau nusuk gue dari belakang?” Rinda terdiam sesaat. “Sa, lo itu udah gue anggap saudara sendiri. Keluarga kita udah saling kenal dan akrab, tapi kenapa lo malah kayak gini sama gue?” Rinda menangis.

Ya Tuhan, aku terdiam merenung. Sejahat inikah gue? Apa yang harus gue lakukan? Aku membatin.

“Ini bukan salah Trisa, ini salah gue. Lu jangan salahkan dia,” Ibal membelaku.

“Diam lu Bal! Salah gue apa sih sampai lu main di belakang gue?”

“Rin, maaf sebelumnya. Tapi jujur, gue memang lebih dulu suka sama dia dibanding lu,”
DUAR! Rinda sangat terkejut dengan pengakuan Ibal. Aku pun sama terkejutnya dengan Rinda. Mungkin aku lebih terkejut. Aku sendiri baru tau dengan apa yang diucapkan Ibal barusan.
Rinda pergi ke kamarnya. Entah, mungkin setelah itu tak akan ada lagi komunikasi antara aku dengannya. Yesi hanya mematung. Aku bisa menebak perasaannya saat ini.

Aku pergi meninggalkan rumah Rinda. Ibal menyusulku.

“Sori Bal, gue butuh waktu,” aku melepaskan lengan Ibal dan berlari pergi.

***

Sudah tiga hari aku tidak sekolah. Kini hubunganku dengan Yesi apalagi Rinda semakin memburuk. Mereka tak ingin mengangkat teleponku ataupun membalas smsku. Aku tak bisa keluar rumah untuk menemui mereka karena aku sedang demam. Aku juga mencoba untuk menghindari Ibal. Entah, kini aku merasa kesepian tanpanya. Keluargaku pun sibuk masing-masing. Mungkin, mereka masih marah padaku karena aku telah merebut pacar sahabatku sendiri. Keluargaku dan keluarga Rinda sudah bersahabat sejak lama. Makanya aku merasa bersalah atas semua ini.

Love is complicated.... batinku sedih.

“Sa,” James mengetuk pintu kamarku. Aku terkejut, apakah dia tidak marah padaku? Atau dia sudah memaafkanku? Aku segera membuka pintu.

“Lo sadar apa yang lo perbuat itu salah?”

“Iya gue tau. Tapi gue gak bisa bohongi perasaan gue Kak,”

“Kalau dia sayang sama lu, dia bakal putusin pacarnya dan jadian sama lu,”

“Putus sama Rinda? Ya ampun gue gak pernah kebayang akan hal itu Kak,”

“Gini deh. Lu rela gak kalau Ibal terus sama Rinda?”

Aku menggeleng kuat-kuat.

“Terus lu mau ngerusak hubungan mereka?”

Lagi-lagi aku menggeleng. Ya Tuhan, gue benar-benar dilema. Batinku.

“Lu pikirkan itu baik-baik,” James pergi dari kamarku.

Setelah James pergi, aku mulai merasa makin pusing dan tertidur....

***

“Lu udah sadar Sa?” tanya Ibal yang samar-samar tak jelas ku lihat.

Aku mencoba bangun dari tidurku dan duduk. Aku melihat ke sekeliling, hanya ada Ibal di sana. Dia menghampiriku dan tersenyum.

“Lo gak usah takut kehilangan gue, karena gue akan selalu di sini ya,” Ibal memelukku erat.

Aku menangis di pelukannya. Tapi, aku melihat Rinda dan Yesi datang. Aku terkejut melihat mereka dan melepaskan pelukan Ibal. Saat itu, aku bisa melihat air mata mengalir deras di hati Rinda. Aku merasa bersalah. Aku hendak turun dari tempat tidur dan menghampiri Rinda. Tapi nyatanya, Rinda dan Yesi malah menghampiriku.

“Lo gak perlu takut, gue lepas Ibal buat lo,” Rinda tersenyum manis.

Aku terkejut mendengar Rinda mengucapkan kata-kata itu sambil tersenyum.

“Gue memang gak rela,” Rinda menatap Ibal. “Tapi akhirnya gue sadar kalau cinta dia selama ini memang buat lo,” Rinda kembali menatapku.

Aku tertegun. Apakah ini arti persahabatan sesungguhnya?

“Rin, gue.... gue...”

“Udah gak perlu ngelak, gue tau lo sayang banget sama dia. Gak perlu peduli gue, gue udah baik kok, ya kan Bal?”

“Iya,” Ibal mengangguk kaku.

Aku menangis terharu. Maafin gue Rinda... semoga gue gak akan dapat karma ya Tuhan. Semoga ini yang terbaik buat hubungan gue, persahabatan gue dan keluarga gue amin. Batinku.

“Gue takut Rin, gue takut kena karma. Gue gak tega sama lo,”

“Kalo gue ikhlas gak akan ada yang namanya karma. Percaya deh,”

“Gue sayang sama lo Rin, tapi ternyata gue lebih sayang sama Trisa,” aku Ibal.

“Iya gue tau. Pokoknya langgeng ya kalian,” ujar Rinda.

“Gue ikut bahagia aja deh ya,” Yesi tersenyum manis.

Aku hanya tersenyum dalam sakitku. Terima kasih Tuhan. Batinku.

Meskipun cinta itu merusak segalanya, tapi jika diatasi baik-baik ternyata cinta malah lebih bisa memperbaiki segalanya...

You Might Also Like

0 komentar

Tell me what do you want to tell :)